Kita tentu tidak asing dengan istilah "persinetronan", karena kita memang telah terbiasa dengan istilah "sinetron" yang senantiasa secara "istiqomah" menghiasi layar kaca televisi di negeri kita. Saya sendiri mendefinisikan istilah "persinetronan" sebagai kegiatan produksi sebuah sinetron. Pada kesempatan kali ini, sebenarnya saya lebih ingin membahas mengenai nasib dunia persinetronan di Indonesia yang mulai dirasa "menyedihkan". Memang secara kuantitas, produksi sinetron di negeri kita meningkat tajam dari tahun ke tahun, tapi secara kualitas??..(mungkin kita bisa menilai sendiri).
Sebenarnya, "persinetronan" di negeri kita ini bisa menjadi aset berharga, karena disamping dapat menjadi salah satu ladang pekerjaan yang dapat menyerap banyak tenaga kerja (pemain inti, kru, staf rumah produksi, pemain pengganti, dll.), juga bisa menjadi sarana penyaluran bakat dan kreativitas dari sebuah karya. Tetapi, pada kenyataannya "persinetronan" di negeri kita kondisinya memprihatinkan. Bahkan baru-baru ini saya membaca berita di dunia maya, bahwa gara-gara sebuah produksi sinetron di salah satu ruang ICU RS, satu nyawa pasien terpaksa harus melayang karena tidak segera mendapat perawatan di ruang ICU RS yang saat itu sedang dipakai kepentingan syuting.
Jika boleh sedikit bersaran, mungkin alangkah lebih baik jika instansi terkait dapat memperhatikan dan merumuskan masa depan dunia seni peran di Indonesia (sinetron khususnya), baik itu dengan menyediakan suatu lahan tertentu berupa studio raksasa khusus untuk keperluan lokasi syuting (seperti di Hollywood), atau mungkin dengan lebih "mengayak" atau menjaring genre sinetron yang akan ditayangkan. Karena, akan sangat sayang sekali apabila bakat brilian dari para artis sinetron harus luntur hanya karena peran yang dimainkan kurang berkualitas atau genre sinetron yang ditayangkan kurang berkelas.
Untuk itu, kiranya bagi para produser yang punya modal, sutradara yang punya skill dan kreativitas, serta para pemain/artis yang punya bakat akting luar biasa, marilah kita bersama-sama belajar untuk tidak hanya berorientasi pada profit dan kuantitas semata, tapi lebih kepada kualitas dari suatu karya. Karena kualitas dari suatu karya mungkin akan sangat lebih bernilai dan berkelas jika dibandingkan dengan setumpuk materi dari profit semata. Maaf, saya di sini tidak bermaksud apa-apa atau sok idealis, tapi terkadang saya tidak tega saja jika harus melihat anak-anak kecil di sekitar saya, bahkan para tetua yang ada, terpaksa harus teracuni secara akut oleh genre sinetron/film yang kurang berkualitas. Kasian. Lagipula, dari sisi psikologi, nampaknya hal tersebut kurang baik bagi perkembangan moral bangsa kita kedepan. Sepakat?..Hehe..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H