Tulisan ini sebenaranya terilhami oleh beberapa pengalaman saya saat bertemu atau tanpa sengaja harus menyaksikan Bapak/Ibu yang terhormat (Yth.) di Negeri ini melintasi jalan raya, dsb. Saya kebetulan bekerja di sebuah kantor yang berjarak sangat dekat dengan rumah dinas seorang Bapak dengan pangkat RI-2. Maka, memang tidak heran jika beberapa kali saya pun harus 'terpaksa' terjebak di tengah ritual iringan pengawal yang siap 'mengarak' sang Bapak keluar rumah dinas menuju kantornya. Dan ternyata, saya pun memang tidak 'terjebak' sendirian, ada banyak antrian mobil dan motor lain yang juga harus terpaksa 'terjebak' secara 'berjamaah' saat iringan mobil Bapak yang terhormat tersebut lewat. Awalnya saya fikir hal semacam ini adalah wajar, karena toh untuk seorang terhormat dengan pangkat RI-2, ritual pengawalan semacam ini memang diperlukan sebagai antisipasi terhadap segala bentuk ancaman keamanan dsb. Akan tetapi, semakin lama saya amati, ternyata kondisi seperti ini kadang terasa akan sangat mengganggu.
Puncak rasa terganggu tersebut muncul saat saya sedang melintas di sepanjang jalan daerah Kuningan untuk menuju daerah Mampang. Saat itu merupakan waktu jam pulang kantor, dan di sekitar lampu merah pun terdapat beberapa bapak polantas yang sedang berjaga. Lampu warna merah menyala, semua kendaraan yang akan menuju daerah Mampang pun terhenti. Saya yang kebetulan pada saat itu menggunakan jasa ojek, berhenti tepat di depan barisan antrian lampu merah. Hiruk pikuk kendaraan yang hilir mudik bergantian serta aksi saling serobot antara motor, kopaja, dan mobil sudah menjadi pertunjukan yang biasa untuk disaksikan, maka saya pun berusaha maklum dan sabar.
Beberapa waktu kemudian, lampu berwarna merah tersebut mati dan berganti warna menjadi hijau, semua kendaraan pun mulai bersiap untuk jalan kembali. Namun, tidak seperti biasa, saat itu sang petugas (alias para bapak polantas) justru 'menyetop' kendaraan yang akan menuju Mampang. Aksi 'penyetopan' itu pun berlangsung cukup lama (mungkin sekitar 30 menit). Para pengemudi mulai gelisah, tidak sabar, dan menggerutu. Saya pun demikian, kesabaran yang coba saya tahan, akhirnya mulai runtuh. Singkat cerita, para pengemudi yang memang mulai menjadi tempramen pun mulai memajukan kendaraan mereka, menggerutu, dan membunyikan kelakson sebagai wujud tanda protes karena 'di-setop' cukup lama tanpa diberi tahu apa penyebabnya. Melihat kondisi seperti itu, saya pribadi sebenarnya langsung teringat pada sebuah adegan perang di film 'Lord of The Ring' atau '300' (hehe..), dimana para pengendara itu dapat diibaratkan sebagai para prajurit yang siap menyerang lawan tanpa ampun.
Saat itu saya hanya bisa tersenyum kemudian bertanya pada Bapak pengendara ojek yang saya tumpangi, "wah..kok bisa gini ya Pak, tumben sampe 'di-setop' selama ini, kira-kira kenapa ya?". Bapak pengendara ojek pun menjawab dengan sigap, "wah..kalau sampe kaya gini mah biasanya ada iringan RI-2, mba. Kan, rumah asli keluarganya RI-2 ada di daerah Mampang, biasanya kalo jam segini mereka pada mau balik lagi ke rumah dinasnya."
Dan ternyata, analisa Bapak pengendara ojek itu 100% benar, selang beberapa menit kemudian, dari arah berlawanan munculah serombongan forider yang mengawal sebuah mobil sedan mewah berwarna hitam dengan plat bertuliskan "RI 2". Menariknya lagi, saat iringan RI-2 itu melintas, maka secara sigap dan para pengendara lain, yang sedari tadi menggerutu karena 'di-setop', berteriak "Huuuuuuuu...!!!!" secara serempak sembari membunyikan keras-keras kelakson kendaraan mereka. Jika diibaratkan, mungkin kejadian itu mirip seperti kejadian pada saat para supporter bola meneriaki tim lawan yang sedang melakukan pelanggaran. Teriakan yang keluar pun adalah teriakan kencang, penuh rasa kesal dan amarah. Akan tetapi, ternyata negeri ini memang belum benar-benar demokrasi, maka teriakan itu justru hanya disambut dengan 'cuek' oleh para iringan RI-2 yang tetap melaju. Dan aliran lalu lintas yang sempat 'tersumbat' karena ada iringan RI-2 itu pun kemudian mulai terurai kembali. Menyaksikan dan merasakan sendiri hal tersebut, saya pun hanya bisa tersenyum dan membatindalam diri"kasian sekali Bapak RI-2 yang terhormat itu, gelar Yth. yang seharusnya benar-benar dihormati, malah dicemooh oleh rakyatnya sendiri...miris.."
Dari sepenggal pengalaman tersebut, saya hanya ingin sedikit berpesan kepada para Yth., bahwa apabila kiranya Bapak/Ibu yang terhormat ingin benar-benar dihargai dan dihormati oleh rakyatnya, maka cobalah belajar untuk bisa menghargai dan menghormati terlebih dahulu rakyatnya. Jika dari awal dan hal kecil saja (seperti kasus iringan kendaraan RI-2) sudah membuat rakyat kesal dan bahkan terganggu, maka niscaya respect dari rakyat pun akan luntur seketika, bahkan ketidak-respect-an itu pun dapat terbawa saat kalian (para Yth.) hendak mengeluarkan kebijakan bagi Negeri ini.
Oleh sebab itu, alangkah lebih baik jika kalian (para Yth.) dapat interopeksi diri, belajar untuk mulai berempati, dan coba menghargai kondisi rakyat, agar kalian dapat lebih mengerti dan bijak dalam bertindak.
Membentengi diri kalian dengan seperangkat rombongan keamanan justru hanya akan menciptakan jurang pemisah antara kalian (para Yth.) dengan rakyat. Padahal kalian ada karena rakyat dan untuk rakyat.
Percaya saja bahwa rakyat i.Allah akan baik dan respect jika memang kalian juga dapat mengawali dengan tindakan yang baik. :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H