Mohon tunggu...
Yovanda Noni Izabella
Yovanda Noni Izabella Mohon Tunggu... -

jurnalis

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Wartawan itu, Kue Apa Sih?

13 Juni 2012   04:38 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:02 439
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13395621631851224894

"Perempuan itu menembus dekapan malam, tatkala motor yang dipacunya kencang menerjang derasnya hujan. Kamera poket menggantung di lehernya, dan bergoyang-goyang seakan berteriak "Jangan laju-laju naik motornya". Sekejap mata menangkap pemandangan yang tak biasa itu, tiba-tiba orang disebelahku yang sama-sama nongkrong di warung kopi memanggilnya "Woy Yov, Liputan kah?". Ternyata perempuan itu wartawati di sebuah media lokal yang tengah mencari berita tentang pemerkosaan, siapa dia? dan bagaimana dia melihat musibah di tengah malam yang gelap ini... Penggalan cerita diatas adalah feature yang dituliskann salah seorang teman kepada saya, yang isinya bukan lain menceritakan tentang rasa penasarannya terhadap seorang wartawati. Sekilas memang biasa saja, tapi jika ditelaah lebih dalam, ternyata baginya wartawan itu manusia misterius yang mungkin sangat aneh dalam dunia kerja. Mungkin benar, bagi sebagian orang menjadi wartawan adalah pekerjaan yang tak menawan. kerjanya selalu gentayangan di jalanan, tak berdasi dan suka membuang-buang kertas sembarangan. tapi bagi saya, wartawan itu adalah pekerjaan paling indah tiada duanya. sebab, dengan bermodal sebuah tulisan yang nyata dan apa adanya, wartawan bisa merengkuh dunia dan bersalaman dengan orang yang dianggap dewa. Suatu kali, ibu saya pernah berkomentar saat kami tengah sarapan berdua di warung gado-gado sebelah rumah. "Wartawan itu jenis manusia apa sih?" sempat terhenyak mendengar pertanyaan beliau. Karena selama 2 tahun berprofesi menjadi seorang reporter, baru kali pertama beliau mengucapkan pertanyaan yang sepertinya berat itu. Lima belas menit terdiam, akhirnya saya pun menjawab "Mungkin pertanyaannya bukan wartawan itu jenis manusia apa, tapi jenis kue apa?". ibu saya terdiam dan memandang wajah saya dengan dalam. Sangat disadari, rasa kekhawatiran seorang ibu pada anaknya yang berprofesi sebagai wartawan. Bukan masalah punya uang atau tidak, tapi persoalan hukum dan nyawa untuk kebenaran. Bagaimana tidak? beberapa kali di siaran  televisi menayangkan berita pemukulan dan tindak pembunuhan terhadap seorang wartawan. sama seperti manusia lainnya, nyawa wartawan juga dianggap papa dan tak berharga. Di satu sisi ada yang tertawa puas melihat berita tersebut, di sisi lain juga ada yang menghujat. hanya segelintir orang yang iba dan terisak melihatnya. Tapi tahu kah anda?  wartawan dididik untuk membela yang benar. Tidak percaya? saya pernah berdiskusi dengan redaktur pelaksana tempat saya bekerja setahun lalu, dia mengatakan, haram hukumnya uantuk menerima suap apalagi membuat beritayang tak benar. "Tindak kejahatan paling nista adalah saat wartawan membuat berita bohong dan menerima suap. Sebab wartawan ada untuk mereka yang benar dan menguak sisi kebenaran, harus idealis, cekatan dan tidak murahan dengan uang suap." tegas redpel saya kala itu. Sebab menurut dia, dalam sebuah tulisan yang dianggap investigasi, wartawan harus benar-benar menguak kebenaran tentang sebuah kesalahan. wartawan tahu benar dengan siapa dia berhadapan, wartawan juga tahu nyawa selalu menjadi taruhan. tapi siapa sangka, hanya dengan lentikan jari yang merangkai kata menjadi kalimat, wartawan bisa membuka tawa lebar dunia. itulah harga diri seorang wartawan yang sesungguhnya. jangan sampai kotor hanya karena jumlah rupiah yang dianggap penyelamat kehidupan. Tanpa memandang jenis media, istilahwartawan membawa konotasi atau harapan profesionalitas dalam membuat laporan suatu berita, dengan pertimbangan kebenaran dan kode etik jurnalis. Sekilas memang  agak lebay  kecintaan saya terhadap profesi wartawan, khususnya bagi manusia-manusia kuli tinta yang idealis. Berbeda dengan wartawan yang (maaf) kerap ketangkapan menggunakan nama media untuk menguras, mungkin saya pun bisa menghujat. Ini yang sering membuat nama baik profesi itu tercemar. Profesi yang dinilai sangat idealis itu perlahan menjadi profesi menakutkan dan harus dihindari. bahkan tak jarang, masih ada saja orang kotor yang mengaku wartawan menerima uang suap untuk membungkam suatu kejahatan. (inspirated by Dalam Enam Bulan, 83 Wartawan Meninggal Saat Meliput Berita, Posted on by hswipencarifakt)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun