Pekerja migran di perkebunan jeruk di Rosarno, Calabria (Sumber: Fotoaustellung Bitter Orange)
Dari Wikipedia, Calabria adalah negara bagian di selatan Italia dengan populasi tak lebih dari dua juta jiwa yang hidup di wilayah seluas 15,080 kilometer persegi. Wilayah ini didapuk sebagai wilayah dengan udara terbersih se-Eropa di tahun 2010.
Calabria dikenal memiliki tanah yang subur dan memiliki jumlah petani organik terbesar setelah Sisilia. Hasil pertanian terutama olive oil dan Bergamot orange yang disebut sebagai yang terbaik di dunia. Industri pertanian yang luar biasa ini tentu saja memerlukan tenaga kerja yang tidak sedikit. Maka berbondong-bondonglah para pekerja migran datang ke Calabria yang merupakan pintu masuk ke Eropa.
Mereka datang dari Africa (Ghana, Burkina Faso, Pantai Gading) ke Eropa karena berbagai sebab. Ada yang murni karena alasan ekonomi, namun banyak yang kabur karena konflik, tekanan politik, tekanan terhadap minoritas, terbuang dari komunitasnya, dsb. Setelah berjuang antara hidup dan mati menyeberangi Laut Tengah secara ilegal, mereka pun terdampar di Calabria dan sekitarnya. Mereka mencoba memperoleh izin tinggal di Eropa dan bekerja apa saja di Calabria.
Setiap musim dingin, lebih dari 2,000 migran datang ke Rosarno, Calabira, untuk memetik jeruk dengan upah tak lebih dari 60 sen per box, belum dipotong biaya hidup dan mafia yang menyalurkan mereka. Dalam satu hari mereka menerima upah 25 euro (sekitar Rp 375 ribu), setelah itu dipotong 2.5-5 euro untuk transport dan mafia (The Telegraph). Memang nilai upah ini terlihat tinggi jika di-Rupiah-kan. Tapi di Eropa, upah ini tidak ada artinya. Sebagai gambaran, upah minimum di Uni Eropa berkisar antara 10 - 15 euro per jam. Mereka juga tidak bisa bekerja setiap hari. Dalam seminggu mereka hanya bekerja 2-3 hari dan hanya dibayar jika mereka bekerja.
Untuk bertahan hidup dengan upah yang minim ini, mereka mendirikan kamp pekerja yang jauh dari layak. Bahkan kondisinya lebih buruk dari kamp pengungsi di zona perang.
Para petani berdalih bahwa rendahnya upah pekerja migran dikarenakan tidak adilnya harga jual jeruk ke perusahaan multinasional, seperti Coc*-Col* dan Fant* (sekitar 25 cent per kilo). Jadi mereka pun terpaksa memotong upah pekerja panennya. Sementara pihak perusahaan berkilah bahwa mereka membeli jeruk sesuai kontrak dan dalam kontrak ada ketentuan tentang perlindungan lingkungan, hak-hak pekerja, dan lain-lain. Perusahaan juga tidak bisa mengaudit setiap petani yang menjadi mitranya.
Perbudakan tersembunyi ini sudah berlangsung lebih dari 50 tahun. Gelombang imigran yang makin masif menjadi salah satu penyebab. Ribuan migran bersaing untuk mendapatkan pekerjaan yang terbatas di Italia. Pekerjaan apapun dengan gaji berapa pun. Mereka rentan dieksploitasi. Mereka dimanfaatkan oleh gangster dan mafia yang memiliki koneksi ke perkebunan-perkebunan jeruk untuk pekerja sebagai pemetik dengan upah seadanya. Pengawasan pemerintah juga lemah karena ada indikasi korupsi.
Fakta-fakta tentang kondisi pekerja migran ini digambarkan secara gamblang dalam Pameran Foto Bitter Orange-African Migrant Worker in Calabria di Justus-Liebig Universität Giessen dari tanggal 21 Maret - 25 April 2016. Pameran ini merupakan hasil penelitian 3 tahun oleh Dr. Diana Reiners dan Dr. Gilles Reckinger (University of Innsbruck), serta Carole Reckinger (fotografer dan sosiolog). Pameran ini bertujuan untuk mengatasi eksploitasi di Eropa, kebijakan migrasi dan desakan harga hasil pertanian. Pameran ini juga bertujuan untuk menyadarkan masyarakat akan pentingnya perdagangan yang adil dan kesadaran untuk memilih pola konsumsi.