Di pekan ASI awal bulan Agustus kemarin, saya dapat pertanyaan, "bagaimana pengalaman kamu menyusui?" Saya langsung jadi nostalgia.
Saya adalah seorang ibu tunggal tidak menikah. Jadi saya melewatkan masa menyusui dengan heboh sendirian. Apalagi, setahun pertama menyusui, saya masih menyelesaikan kuliah di negara orang. Usia saya masih 22 tahun dan teman-teman saya semua sedang menikmati hidup. Wah, kalau ditanya rasanya jadi gado-gado. Tapi seru. Dan berhasil. Kok bisa happy ending? Iya, soalnya banyak yang support. Mungkin dukungan seperti inilah yang dibutuhkan para ibu, terutama single mom, untuk dapat menyusui dengan tenang. Dukungan dari siapa saja?
Rumah sakit. Rumah sakit sudah menanyakan preferensi ibu, apakah ingin menyusui. Jika jawabannya "ya", maka akan ada counselor ASI yang mendampingi. Mengunjungi setidaknya dua kali untuk memastikan bahwa si ibu bisa menyusui dengan benar, ASInya lancar dan memberi tahu apa yang dapat terjadi selama menyusui. Di jaman sekarang ini, semua bisa mudah dicari dengan smartphone dalam genggaman. Jaman saya dulu, bertanya pada ahli masih jadi andalan.
Komunitas. Ada komunitas ASI di kota tempat saya tinggal. Komunitas ibu-ibu yang support ASI maupun lembaga yang mendampingi saya membesarkan anak sendirian. Ada yang 'ditugaskan' untuk datang berkunjung sebulan sekali, untuk mengantarkan bantuan seperti popok, membantu saya kalau ada kesulitan atau mencarikan referensi misalnya saya butuh daycare. Ada tempat bertanya tanpa stigma, yang sangat penting bagi ibu tunggal seperti saya.
Universitas. Karena saya menyusui sambil kuliah, maka saya harus mengatur jadwal kelas sedemikan rupa untuk punya waktu bolak-balik ke daycare dan menyusui. Lalu punya cukup simpanan ASI perah jika ada kejadian tidak terduga. Teman-teman dan dosen yang pengertian kalau tiba-tiba saya ijin mau memompa ASI. Atau membolehkan saya membawa anak ke pertemuan kerja kelompok. Berdiskusi bikin presentasi sambil menyusui anak ditutup dengan kain sudah jadi makanan sehari-hari.Â
Dukungan yang diterima, kebanyakan bukan berupa materi. Dibantu mengatur jadwal kelas jadi saya sempat ke daycare untuk menyusui. Bisa belajar ujian sambil menyusui di daycare. Bisa membawa anak, mengerjakan tugas kelompok sambil menyusui. Dokter anak yang juga perduli pada bagaimana saya menyusui. Teman yang siap mengawasi anak ketika saya harus memompa. Teman-teman yang masih mengajak saya main dan hangout, meskipun saya punya bayi.Â
Teman-teman ini juga berperan penting dalam hidup seorang ibu menyusui. Soalnya menyusui itu repot. Bawaan jadi banyak. Ya pompa, ya botol, ya breastpad, baju ganti kalau bocor, plus peralatan bayi segambreng lainnya. Lalu ada waktu-waktu di mana kita "menghilang" karena harus memompa, atau menyingkir sejenak ketika menyusui bayi. Bukan sekali dua kali saya harus terlambat karena perkiraan waktu menyusui bayi yang meleset. Jika teman-teman saya menyerah, tentunya saya akan merasa sangat kesepian. Tidak punya teman karena tersandera oleh bayi yang masih menyusui. Apalagi saya single mom, tidak ada pasangan dan jauh dari keluarga karena sedang merantau.
Terdengar sederhana, namun semua dukungan itu sangat berarti buat saya. Soalnya kalau ibunya bahagia, ASI-nya jadi lancar kan.Â
Saya sukses menyusui hingga usia anak kurang lebih 2 tahun sesuai yang menjadi rekomendasi. Tentunya kesuksesan saya menyusui sebagai seorang ibu tunggal tidak lepas dari peran orang-orang di sekelilingnya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H