Ketika saya masih sekolah dulu, saya menggunakan PR buat mengejar nilai. Kalau ulangan, nilai saya selalu pas-pasan dan biasanya tetep kalah sama teman-teman. Jadi gimana buat juara 1? Ya PR dan tugas sekolah lainnya saya kerjakan dengan sungguh-sungguh agar dapat nilai tambahan. Ujung-ujungnya, begitu ditotal, saya tetap ranking.
Of course, kalau menghadapi UAN saya terpaksa bimbel intensive.
Tapi berbeda dengan anak saya.
"PR itu menyebalkan," katanya waktu saya tanya pendapatnya soal PR.
"Kenapa?"
"Soalnya, when you're done with school, you're not done. Tetap ada pekerjaan rumah yang harus dilakukan."
Oh, mindset-nya beda.Â
Anak saya tipe pekerja work-life balance yang kalau sudah jam 6 mau pergi hangout sama temannya tanpa diganggu chat oleh bosnya. Sementara saya adalah budak korporat, mantan karyawan e-commerce yang bisa meeting di luar jam kerja. Mungkin ini juga yang bisa menjawab kenapa saya selalu punya side job banyak banget, dan kesibukan tiada akhir tanpa merasa lelah.
Soalnya saya jenis "si paling ngerjain PR." Senang dapat tugas karena saya jadi ada yang dikerjakan sepulang sekolah. Jadi tidak lupa sama pelajarannya. Kebiasaan ini terbawa sampai kuliah, lalu ternyata dunia kerja juga sama. Pekerjaan saya juga suka ada "PR"-nya.
Kalau ditanya, PR perlu nggak sih, anak saya sebenarnya termasuk netral. "Ya, mungkin diperlukan agar saya belajar di rumah dan tidak lupa di sekolah belajar apa?" Yang dia keluhkan adalah jumlah PR yang diberikan sekaligus jadwal kegiatan tambahan yang tidak masuk akal. Misalnya dia pulang sekolah jam 3 sore. Setelah itu ada les bahasa mandarin, les matematika dan ada les musik. Beneran sampai dan santai di rumah baru jam 8 malam. Makan lalu istirahat untuk esok hari berangkat lagi ke sekolah jam 7 pagi.
Kapan mainnya?