Mohon tunggu...
Yoyo
Yoyo Mohon Tunggu... Buruh - Lorem ipsum dan lain-lain seperti seharusnya

Tour leader. Pengamat buku, kutu buku, penggila buku dan segala hal yang berbau buku.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Pemilu yang Melelahkan

27 April 2019   00:18 Diperbarui: 27 April 2019   00:19 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemilu serentak di tahun 2019 ini meninggalkan begitu banyak cerita menyedihkan. Saya terlibat langsung dalam pemilu ini karena saya bekerja sebagai anggota timses untuk seorang caleg dari sebuah partai. Dan catatan dari saya adalah sebagai berikut.

Pertama, penggabungan pilpres dan pileg membuat caleg kehilangan pamor. Mereka kesulitan untuk menarik perhatian komunitas karena semua orang fokusnya tertuju pada pilpres. Dalam pesta demokrasi ini, caleg cuma terposisikan sebagai pelengkap. Itu sebabnya strategi efek ekor jas menjadi banyak pilihan dari strategi komunikasi para caleg.

Kedua, masa kampanye yang terlalu panjang membuat para caleg kesulitan untuk membuat strategi. Masa kampaye yang ideal adalah satu setengah bulan atau paling lama berlangsung selama dua bulan.

Ketiga, pilpres selalu membuat masyarakat terbelah sehingga masa kampanye yang terlalu lama otomatis juga membuat perpecahan itu berlangsung semakin lama.

Keempat, Pilpres yang digabung dengan pileg membuat petugas bawaslu, KPU dan semua petugas yang terkait menjadi terlalu lelah sehingga memakan korban sampai 225 orang di seluruh Indonesia. Sedih rasanya sebuah pesta demokrasi sampai memakan korban begitu banyak.

Kelima, aturan main dalam berkampanye rasanya harus diatur lebih tegas lagi. Di pilpres tahun 2019 ini penggunaan SARA sangat parah. Hoax dan fitnah yang dikemas dalam bungkus agama membuat rakyat di akar rumput jadi saling membenci. Keluarga terbelah, komunitas hancur, kekisruhan di group FB, WA dan social media lainnya benar-benar sangat mengerikan.

Keenam, pembelajaran politik bagi generasi muda sangat tidak mendidik. Kaum mileneal banyak yang mengambil kesimpulan bahwa politik itu seperti main game dan kita boleh melakukan perbuatan sebusuk apapun untuk memperoleh kemenangan/kekuasaan.

Jadi saya menghimbau pada pemerintah untuk mereview kembali sistem pemilu ini. Termasuk soal ketidak siapan salah seorang kontestan yang tidak menerima keputusan KPU. 

Intinya adalah pemilu 2019 ini bisa membuat kita belajar untuk memperbaiki diri sehingga pilpres berikutnya akan menjadi lebih baik. Pilpres yang akan datang seyogyanya betul-betul menjadi pesta demokrasi yang memberi kegembiraan pada rakyat. Bukan menjadi ajang permusuhan, ketakutan, perpecahan dan bencana nasional yang merenggut nyawa petugas pemilu sedemian banyak. Semoga. Insya Allah

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun