Selain menguntungkan petahana, bencana alam telah menurunkan intensitas perang hoax. Semua sibuk memfokuskan perhatiannya ke Palu akibatnya suhu di jagat alam maya mulai sejuk. Kubu Prabowo merasa perlu memikirkan sebuah issue yang dianggap punya news value yang kuat. Sebuah kabar yang mampu mengalihkan kepala netizen ke masalah pilpres kembali.
Maka dibuatlah berita penganiayaan Ratna Sarumpaet di atas. Kenapa Ratna yang dipilih? Karena selain tokoh yang sangat vokal, dia juga perempuan yang sudah uzur pula. Adalah sangat tidak pantas tokoh seperti itu mendapat penganiayaan, bukan? Masalahnya adalah apakah media mainstream mau memuatnya? Kubu Prabowo menyadari bahwa tidak mudah membuat media mainstream menulis berita yang belum dipastikan kebenarannya. Mereka semua berada di bawah Dewan Pers yang mempunyai kode etik. Apalagi sebagian besar media mainstream di negeri ini cenderung berpihak ke Jokowi.
Untuk menyiasati masalah tersebut, dibuatah strategi dengan menyelenggarakan konperensi Pers dan Prabowo sendiri yang memberikan pernyataan. Bayangkan, seorang capres, Jenderal Bintang Tiga memberikan pernyataan. Pernyataan apapun jika yang mengatakan seorang Prabowo tentu saja sekonyong-konyong menjadi penting.
Dan jadilah berita penganiayaan nenek-nenek berusia 70 tahun itu menjadi jauh lebih ramai dari sebelumnya. Kenapa demikian? Karena media mainstream sekarang telah ikut memberitakannya. Sebuah konspirasi yang tidak elok dan tidak memberi keteladanan politik yang baik untuk generasi selanjutnya. Ini adalah sebuah analisa dan saya berdoa semoga analisa saya salah.
Apabila analisis saya benar adanya maka peristiwa Ratna Sarumpaet ini jelas akan meninggalkan dua hal: Pertama, peperangan antar dua kubu di dunia digital akan semakin mengerikan. Dan kedua, saya tidak bisa lagi mengandalkan pada media mainstream untuk menyaring apakah sebuah berita itu fakta atau hoax. Kalian media mainstream terlalu lugu dan sangat mudah untuk disiasati. Â