Oleh: M. Adnan Kasshogi 11170480000059 (KKN 147)
Latar belakang isu ini, ialah karena banyaknya penyalahgunaan tempat pendidikan dan fasilitas pemerintah sebagai sarana kampanye pemilu. Hal ini terbukti menurut bawaslu pada tahun 2018 terdapat 259 kasus penyalahgunaan tempat pendidikan dan fasilitas pemerintah dalam kampanye pemilu.Â
Salah satu contohnya dapat kita lihat pada kasus wakil ketua DPRD kabupaten gunung kidul Ngadiyono, yang divonis 2 bulan kurungan oleh pengadilan negeri sleman karena terbukti menggunakan mobil dinas di dalam melaksanakan kampanye dirinya.Â
Juga pada kasus Mustar calon DPRD Belitung yang berkampanye di sekolah dengan membagikan selembaran visi, misi dan janji ketika ia terpilih, sebab utama terjadinya peristiwa ini disebabkan Pasal 280 UU No. 7 tahun 2017 Pemilu masih belum menetapkan penggunaan tempat pendidikan dan fasilitas pemerintah, sebagai tindak pidana pemilu.
Namun disisi lain, sebagai bangsa kita memiliki kewajiban konstitusional untuk terus berupaya menjaga marwah kampanye pemilu sebagai sarana pendidikan politik masyarakat.
Sehingga diperlukan kampanye dengan cara-cara yang bertanggungjawab, bukan justru melakukan kampanye di tempat pendidikan dan penggunaan fasilitas pemerintahan yang akan merusak marwah dari kampanye sebagai prasarana demokrasi itu sendiri.
Maka sudahlah tepat bila negara menerapkan hal tersebut sebagai tindak pidana pemilu demi menjaga dan melindungi hak warga negaranya akan sistem demokrasi yang berkualitas. Hal ini sejalan dengan pemikiran prof. Â
Bagir manan dalam karyanya teori politik dan konstitusi "Salah satu pilar utama pelaksanaan demokrasi yang berkualitas, ialah tegaknya prasarana demokrasi yang sehat dan bertanggungjawab"
Fasilitas pemerintah ialah berupa sarana dan prasarana yang dibiayai oleh APBN dan/atau APBD yang penggunaannya berada dibawah pejabat negara dan tidak berhubungan dengan kesehatan dan keamanan protokoler pejabat tersebut. Selain fasilitas pemerintahan, sarana pendidikan juga harus menjadi fokus perlindungan politik masyarakat, yakni berupa gedung sekolah, pesantren, serta perguruan tinggi.
Dengan permasalahan yang muncul tersebut, mencerminan adanya kemunduran demokrasi dan pelanggaran integritas peserta pemilu yang menyebabkan banyak kerugian bagi negara, masyarakat maupun pasangan calon lainnya karena karena sejatinya menurut putusan hakim di berbagai belahan dunia yakni putusan Mathieu-Mohin and Clerfayt v. Belgium, dan Lingens v. Austria.
Hakim dalam pertimbangannya menyatakan bahwa penggunaan fasilitas publik dan pendidikan haruslah terbebas dari politik praktis untuk menjaga garis demarkasi yang jelas antara pelayanan publik serta pendidikan dan praktik politik. Ditambah dengan adanya laporan KPAI pada tahun 2014-2019 terdapat 163 kasus eksploitasi anak dalam kampanye pemilu di tempat pendidikan.