Bagi sebagian orang, perihal memberi nasihat atau mengucapkan  sesuatu yang baik secara teori adalah hal yang sangat mudah untuk dilakukan.Â
Iya mudah...sayapun kadang masih sering melakukannya hehe... ! Tinggal berucap yang baik saja apa sih repotnya? Â Begitu kira-kira.Â
Akan tetapi di dalam realitas kehidupan tidaklah selalu semudah itu, kawan! Persoalan akan menjadi rumit manakala kita harus melakukan dan mempertanggungjawabkan secara nyata apa yang pernah kita ucapkan. Apalagi, ketika kita yang asyik mengucapkan sesuatu yang baik itu ternyata di kemudian hari  ketahuan basah melanggar apa yang pernah terucap. Repot kan jadinya
Alih-alih nasihat kita akan didengarkan,  kita pasti  akan dijuluki sebagai orang: Jarkoni (iso ujar ora bisa nglakoni -- bisa berujar tetapi tidak bisa melakukan).Â
Sebuah akronim populer di masyarakat Jawa  yang masih populer. Sungguh tidak menyenangkan apabila label sebagai orang yang pandai berteori tetapi miskin tindakan itu tersemat. Kita tidak lagi dipercaya sebagai orang yang cakap oleh lingkungan dan  setiap kata yang meluncur dari mulut kita akan menguap bak embun di pagi hari.  Integritas yang kita bangun akan terkikis oleh tindakan kita sendiri. Sungguh malangnya...
Saat ini fenomena jarkoni kian marak. Jarkoni mucul dalam topeng-topeng digital yang apik, seperti: status di media sosial, konten video ataupun cuplikan quotes bijak. Apalagi hal ini makin riuh tatkala ada pemimpin pemerintahan yang kedapatan melakukan tindak jarkoni. Seperti yang sering kita lihat di televisi atau media masa lainnya.Â
"Ayo...gunakanlah masker dengan benar untuk mencegah penularan Covid-19"Â (padahal ybs dan staffnya tidak menggunakan masker dengan benar)
"Astaga...orang beragama kok kelakukannya seperti itu"
"Seharusnya anda itu bersikap bla...bla..bla..." Â
Belum lagi banyak orang mendadak tampil dalam rupa religius saat berupaya mengomentari situasi sosial yang dianggap melanggar norma yang berlaku. Mereka tampil dengan bahasa-bahasa kudus untuk menanggapi situasi tersebut. Pertanyaannya: Apakah iya, mereka  yang menulis dengankata-kata kudus pedih itu telah  sungguh-sunguh menerapkan hal yang diucapkannya?
Lantas bagaimana menyikapi hiruk pikuk orang-orang jarkoni ini?
1. Menerima Kehadirannya.
Alih-alih menghindari, sebaiknya Si Jarkoni ni kita terima kehadirannya sebagai bagian dari masyarakat, karena sampai kapanpun dan dimanapun kita akan bertemu dengan orang tipe semacam ini. Kehadiran Si Jarkoni ini setidaknya bisa menjadi alarm pengingat bagi kita dalam bertindak, bertutur dan berfikir di kemudian hari. Penerimaan juga sejatinya akan mereduksi kebencian yang ada pada diri kita terhadap orang tersebut.Â
2. Dengarkan Nasihatnya
Si Jarkoni selalu memiliki segudang nasihat bijak untuk kita simak. Apa yang  diucapkan biasanya adalah sesuatu yang benar, karena ia sangat kaya dalam berteori. Meskipun sangat pedih dan kadang membuat jengkel tetapi cobalah ambil sisi positif dari nasihatnya itu.Â
3. Beri Nasihat Balik di Waktu yang Tepat
Terburu-buru merespons apa yang diucap Si Jarkoni adalah hal yang bodoh. Selain kita masih dikuasai oleh emosi, kata-kata yang kita ucapakan justru dapat menjadi bumerang bagi kita. Sebaiknya tunggulah waktu dan kesempatan yang tepat saat hendak memberinya nasihat, tunggulah hingga ia sedang dalam situasi yang sedang memerlukan pertolongan. Tidak perlu tergesa-gesa.Â
Beberapa poin di atas rasanya bisa menjadi panduan bagi kita tatkala melihat derasnya fenomena jarkoni pada era digital saat ini. Tidak perlu heran dan kaget dengan kehadiran mereka yang dekat dengan kita. Sikapilah dengan bijaksana setiap informasi yang ada di sekitar kita dan tidak terburu-buru untuk meresponsnya. Pikirkanlah dahulu sebelum berucap. Hidupi dan lakukanlah juga apa yang kamu ucapkan, jangan jadi jarkoni!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H