Mohon tunggu...
Yosthina Sosana Solossa
Yosthina Sosana Solossa Mohon Tunggu... Lainnya - Belum bekerja

Saya suka makan,saya hobi bermain bulutangkis

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Tragedi Paling Tragis

12 Juni 2024   21:52 Diperbarui: 13 Juni 2024   21:36 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Sepotong-potongan tragedi masih menua,ratapan masih menunggu di sini, sementara lukanya sedang di jahit sendiri dengan benang sukma yang rapuh dalam suram keadilan. Mereka diberikan kebebasan untuk mengeluarkan air mata, tapi selalu dicegat untuk mengeluarkan senyuman.

Kehidupan kaum koloni,hanya mampu mengenang duka, mengorek luka hingga menerima sayatan baru, di belati tangan jahil melalui lubang bedil sang berdadu. Seperti mereka menyambut wajar mereka di pagi hari, siang dibakar mentari dan sore hilang di peraduan di bawah senja diheningan. Sedangkan perjalanan dari waktu sudah dan terus menjadi misteri dan bukan takdir, tapi akan menjadi sebuah takdir jika tak tersingkap hakikat misteri.

Tragedi yang tragis hanya menjadi sisa-sisa kertas tercabik oleh naratif naratif kehidupan. Narasi keadilan di asa di balik tembok dengan teori-teori ketika ketidakadilan menyebar seantero, lenggok suram suratan di tangan pengen mula turani, menulis tangisan di atas takdir pahit, geometri kebenaran menjadi luka sekeping hati yang, berkah telapak kaki yang sepanjang jalan mencari di mana hilangnya keadilan.

Puas sudah manusia yang bersabda tentang keadilan bersinopsis kelabu. Kenyatanya memetik kesedihan dari mereka yang jiwanya patah. Menumbuhkan prasasti nama di wajah langit, sedang musim beralih kasih masih sama, hati luka tak pernah ada pengobatannya bagi yang pinta keadilan. Manusia belajar mencintai hukum tapi jadi tajam kata-kata, menoreh dalam-dalam, meninggalkan keadilan tenggelam di antara kertas-kertas yang berisi teori.

Keadilan seperti bulan kertas di langit basah, lenyap dalam resah dan usang dalam fatarmogana, berlayar mencari sinar yang hilang di antara berjuta ketidakadilan, memetik senyum kekasih yang patah berharap Tuhan berbaik hati menyembuhkan luka-luka memercikan roh pemberontakan, menyalakan keberanian, berlari dan mengejar keadilan di antara dunia yang tidak adil ini.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun