[caption id="attachment_202457" align="alignright" width="300" caption="Wilayah proyek tambang panas bumi di baturraden"][/caption] Pelaksanaan Proyek Tambang Panas Bumi Baturraden yang meliputi wilayah Kabupaten Banyumas, Purbalingga, Brebes, Tegal, dan Kabupaten Pemalang diduga mengabaikan prinsip free prior informed concern (FPIC). Sebagian besar warga di sekitar lokasi proyek mengaku belum pernah mendapatkan penjelasan tentang manfaat dan risiko yang mungkin timbul. Ada apa? PT. Sejahtera Alam Energy (SAE) perusahaan yang mengelola Wilayah Kerja Pertambangan (WKP) Panas Bumi Daerah Baturraden baru mengantongi Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah No. 541/27/2011 tanggal 11 April 2011. Namun, karena lokasi pertambangan berada di wilayah hutan, maka sebenarnya SK Gubernur tersebut masih lemah. PT SAE seharusnya menunggu izin dari Kementerian Kehutanan sebelum mengerjakan penebangan pohon menuju area pertambangan. Fakta menarik ditulis dalam portal Desa Melung. Kini, kegiatan pengaplingan sudah dilakukan sejak Febuari 2012 dengan mempekerjakan sekitar 70 pekerja. Setelah itu, alat-alat berat segera didatangkan untuk membuat jalan menuju lokasi pertambangan. Ironisnya, kegiatan itu sudah berjalan lebih dari tiga bulan tanpa adanya sosialisasi terhadap masyarakat di sekitarnya. Dari berkas laporan triwulanan PT SAE sosialisasi justru dilakukan pada pemerintah kabupaten dan akademisi. Sosialisasi pada kedua pihak tersebut memang penting, namun masyarakat sekitar merupakan pihak yang seharusnya dimintai pendapat sesuai dengan prinsip FPIC di atas. Pemerintah maupun akademisi sendiri tidak pernah memberikan informasi hasil sosialisasi kepada masyarakat. Singkatnya, ada problem representasi dalam kegiatan sosialisasi bila tidak melibatkan masyarakat secara langsung. Dalam FPIC, sebelum proyek dimulai pemerintah dan perusahaan wajib memberikan informasi yang sejelas-jelasnya tentang manfaat dan risiko yang mungkin terjadi pada warga. Setelah warga mendapatkan informasi yang lengkap, mereka berhak menyatakan persetujuan maupun penolakan atas proyek tersebut. Bila sekadar memberikan informasi tak dilakukan, bagaimana mereka tahu bahwa kegiatan itu disetujui atau ditolak oleh warga. Di sejumlah daerah muncul masalah, baik konflik maupun bencana, karena kegiatan penambangan didekati lewat jalur struktural dan prosedural. Bahkan, hanya berbekal izin prinsip, banyak perusahaan berani melakukan kegiatan ekplorasi dan eksploitasi. Uniknya, pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam tata kelola sumber daya alam seperti tutup mata meski mereka mengetahui bahwa ruang lingkup izin prinsip tidak sampai pada membolehkan tindakan pertambangan dilakukan. Tidak ada kata terlambat bagi pemerintah maupun perusahaan untuk memenuhi hak akses informasi warga. Nasi belum menjadi bubur, masyarakat sudah terbiasa berpikir jernih dan kritis atas situasi dan kondisi yang mereka hadapi. Bahkan proyek tambang panas bumi Baturraden bisa menjadi contoh tata kelola sumber daya alam dengan pendekatan yang lebih manusiawi dan berkelanjutan bila memenuhi prinsip FPIC dan Keterbukaan Informasi Publik. Ada pepatah, becik kethitik ala ketara. Salut! Baca Juga: - Catatan Proyek Eksplorasi Energi Panas Bumi di Gunung Slamet - WKP Panas Bumi Baturraden - Adakah Dampak Lingkungan di Wilayah Kami?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H