Mohon tunggu...
Yossy Suparyo
Yossy Suparyo Mohon Tunggu... -

Tinggal di Desa Wiradadi, Sokaraja, Banyumas. Alumnus Jurusan Teknik Mesin Universitas Negeri Yogyakarta dan Ilmu Informasi Universitas Islam Negeri Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Nature

Gerakan Kemandirian Teknologi Informasi Perdesaan

15 Februari 2012   12:34 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:36 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_171307" align="alignleft" width="300" caption="Praktik Instalasi Sistem Operasi Komputer"][/caption] Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) berbasis sumber terbuka (open source) telah menembus dunia perdesaan. Sejumlah desa, seperti Desa Mandalamekar dan Desa Melung, secara terbuka mengibarkan gerakan goes open source. Gerakan ini diikuti oleh puluhan desa lainnya di wilayah Sukabumi, Cilacap, Tasikmalaya, Banyumas, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat. Pada pertengahan Maret 2011, Desa Mandalamekar mencanangkan gerakan Mandalamekar Go Open Source (MGOS). Gerakan ini ditandai dengan pemanfaatan sistem operasi BlankOn di seluruh komputer di desa tersebut, seperti kantor desa, studio radio komunitas, mapun komputer-komputer jinjing milik warga. Selanjutnya, pada 11 November 2011, Desa Melung, Banyumas mengikuti langkah yang diambil oleh Mandalamekar. Pada awal 24 Desember 2011, para pegiat TIK Open Source, pemerintah desa, dan warga desa mendeklarasikan Gerakan Desa Membangun (GDM). GDM mendorong tiga prinsip besar, yaitu berdaulat secara politik, bermartabat secara budaya, dan mandiri secara ekonomi. Pilihan pemanfaatan BlankOn sebagai dukungan TIK perdesaan lahir dari kesadaran atas tiga prinsip di atas. Warga desa merasa bangga bisa menggunakan sistem operasi komputer yang dikembangkan oleh putra-putri terbaik bangsa Indonesia. Hal sebaliknya terjadi di kalangan pemerintah. Gerakan Indonesia Go Open Source (IGOS) yang dipelopori oleh lima kementerian sudah mulai rontok. Kegiatan migrasi ke piranti lunak open source dapat dikatakan gagal total. Bahkan Kementerian Pendidikan Nasional sebagai pelopor IGOS justru berbalik arah dengan menandatangani kesepakatan dengan Microsoft. Ibarat pepatah, pemerintah tak malu menelan air ludah sendiri. Alih-alih menjadi suri tauladan, mereka justru menjadi bagian dari akar permasalahan kemandirian teknologi di Indonesia. Mengapa bisa penerapan TIK berbasis open source berkembang cepat di dunia perdesaan? Salah satu kunci keberhasilan pengembangan piranti lunak sumber terbuka di dunia perdesaan adalah komunalisme. Dunia perdesaan digerakkan oleh jalinan kekerabatan yang kuat, termasuk dalam pengelolaan sumber daya. Hal itu tampak dalam pemanfaatan sumber daya secara kolektif, misalnya seorang warga bisa meminjamkan cangkul, ember, sepeda, tak terkecuali mebeler pada tetangganya. Warga desa percaya dalam hak kepemilikan selalu diikuti oleh hak sosial. Pandangan inilah yang melahirkan semangat gotong-royong. [caption id="attachment_171308" align="alignleft" width="300" caption="Pengembangan BlankOn Berbahasa Sunda di Desa Mandalamekar"]

1329309981368643956
1329309981368643956
[/caption] Perkembangan piranti lunak sumber terbuka juga ditentukan oleh semangat komunalisme dan kolektivitas. Sistem dikembangkan secara bersama-sama oleh para penggunanya sendiri. Mereka saling berbagi catatan, baik saat menemui kelemahan sistem (bugs) maupun persoalan kenyamanan saat menggunakannya. Cara kerja inilah yang membuat sejumlah piranti lunak open source, seperti Mozilla Firefox, Libre Office, Filezilla, Chrome, dan WordPress melejit melampaui piranti-piranti lunak sumber tertutup dan berbayar. Tradisi di atas mulai terasa di Desa Mandalamekar dan Desa Melung yang menerapkan piranti lunak sumber terbuka. Setelah menggunakan sistem operasi BlankOn, Desa Mandalamekar mulai melirik untuk mengembangkan sistem itu dalam bahasa Sunda. Hal serupa dilakukan oleh Desa Melung, mereka mulai melakukan alihbahasa dalam Bahasa Banyumas. Hal ini mustahil dilakukan bila mereka menggunakan sistem yang berbasis tertutup. Alih-alih bisa mempelajari kode sistem, mereka justru bisa diseret ke penjara karena dianggap melanggar hak cipta. Fenomena menarik lainnya terlihat dari perbaikan tata kelola layanan dan pemerintahaan yang makin yahud. Mereka bisa menggunakan sistem pendukung tata kelola layanan yang sangat secara cuma-cuma. Dua desa di atas telah menerapkan sistem pemerintahan elektronik (e-government) tanpa mengeluarkan dana yang besar, bahkan penerapan pemerintahan elektronik menjadi strategi penghematan anggaran belanja desa. Kondisi ini jauh bertolak belakang dengan penerapan e-government yang diusung oleh pemerintah kabupaten, provinsi, maupun nasional yang menelan dana hingga milyaran rupiah. Dampak lain penerapan TIK di perdesaan yaitu membiasakan warga untuk menulis. Warga membuat tulisan atau berita tentang desa untuk ditayangkan di website. Kebiasaan ini menunjang sistem administrasi perkantoran dan upaya mengurangi kebutuhan penggunaan kertas (paperless). Kebiasaan menggunakan kertas berarti meningkatkan penebangan kayu yang merupakan bahan baku pembuatan kertas, sehingga dapat berpengaruh pada keseimbangan lingkungan. Mereka mulai terbiasa mengirim undangan, cukup menggunakan email (surat elektronika) yang menghemat penggunan kertas, juga mempercepat waktu pengiriman dan penghematan anggaran.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun