Kang Juhi, pedagang gorengan. Tinggal seorang diri, di sebuah kamar kontrakan, di pinggiran Jakarta. Namun ia bisa berada di mana saja, dan bertemu dengan siapa saja. Karena ia hanya semacam simbol yang mewakili suatu kelompok masyarakat marjinal, yang alam bawah sadarnya terkadang mengejawantah ke berbagai dimensi kehidupan. Kang Juhi mengamati lalu batinnya mengkritisi berbagai aspek kehidupan yang sering kali menyimpang menurut penalaran akal sehat Kang Juhi. Apakah penalaran batinnya bisa dipertanggungjawabkan? Perlu diskusi lebih lanjut. Karena ia hanya penjual gorengan, yang tak menarik perhatian. Dibutuhkan tatkala tak ada pilihan.
Namanya juga dongeng.
*
Kesepian di Balik KontrakanÂ
Yoss Prabu
Di balik derit roda gerobak yang selalu menemani langkah Kang Juhi, ada sebuah kesunyian yang tak bisa diusir oleh bau gorengan ataupun obrolan ringan dengan pelanggan. Kesepian itu menempel di dinding kamar kontrakannya yang kusam, bercampur dengan bau minyak jelantah yang tak pernah benar-benar hilang.
Kontrakan Kang Juhi hanya sebesar kotak korek api raksasa. Isinya sederhana. Tikar rombeng yang sudah bolong-bolong, sebuah kompor gas portable yang sering ngadat, dan beberapa baskom penuh sisa adonan gorengan. Tak ada televisi, tak ada radio, hanya sesekali suara gaduh dari kontrakan sebelah yang membicarakan masalah hidup mereka sendiri.
"Kang Juhi tidak kesepian, tinggal sendirian seperti itu?" seorang pelanggan pernah bertanya sambil menunggu gorengan matang. Kang Juhi hanya tertawa kecil. "Sepi itu kan tergantung dari mana kita memandang, Teh." Teh, kependekan dari Teteh. Bahasa Sunda, berarti kakak perempuan. Tapi dalam hati, ia tahu jawaban itu hanya cara untuk menghindar.
Setiap malam, ketika ia berbaring di tikar yang membuat punggungnya terasa semakin tua, kesunyian menjadi lebih nyata. Ia teringat ketika dulu tinggal di kampung, ketika ia baru menikah. Ketika masih ada yang bisa untuk diajak bicara. Kehangatan tawa, cerita-cerita sederhana, semua itu sekarang terasa seperti mimpi. Apa yang membuatnya pergi ke Jakarta? Mungkin ambisi, mungkin keputusasaan, atau mungkin ia hanya ingin membuktikan sesuatu kepada dirinya sendiri. Kepada keluarganya.
Namun kini, di usia yang makin matang, ia mulai mempertanyakan apa sebenarnya arti hidup ini. Apakah kerja kerasnya hanya untuk membayar sewa kontrakan dan membeli minyak goreng. Lalu mengirim uang ke kampung? Tiga bulan sekali. Apakah kehadirannya di dunia ini ada bedanya dengan gerobaknya, yang hanya berguna saat dibutuhkan?
Namun anehnya, di balik semua itu, Kang Juhi tidak membenci kesepiannya. Ia justru memeluknya seperti seorang sahabat. Saat tak ada orang, ia bebas berbicara pada dirinya sendiri tanpa takut dihakimi. Ia berdialog dengan dinding kamar, dengan ember, berpura-pura menjadi pembicara dalam diskusi penting. "Kalau semua orang yang merasa marjinal bersatu, dunia ini bakal lebih adil, ya nggak?" tanyanya kepada baskom adonan yang terdiam seperti biasa.