Mundurlah, Gus.
Yoss Prabu
Gus, nama Anda telah menggaung sebagai tokoh penting dalam dunia dakwah dan agama. Tidak hanya dikenal sebagai seorang kyai kondang, Anda juga memiliki posisi penting yang cukup strategis di negeri ini. Namun, dengan segala hormat, ada baiknya kita bersama-sama merenungkan satu hal. Apakah kehadiran Anda sebagai pejabat publik benar-benar masih membawa manfaat sebesar saat Anda murni berdakwah sebagai ulama?
Sebagai ulama yang disegani, Anda menjadi panutan bagi banyak orang. Tapi, ketika seorang ulama terjun sebagai pejabat, dengan posisi penting, situasinya tidak sesederhana ceramah di atas podium. Ada konsekuensi besar yang menyertai, baik terhadap nama baik Anda maupun pesan yang selama ini Anda sampaikan.Â
Banyak yang mulai mempertanyakan: apakah Anda masih menjadi ulama yang teguh, atau justru mulai terlalu dekat dengan lingkaran kekuasaan?
Sebagai ulama, tugas Anda adalah menuntun umat. Tapi, ketika jabatan publik menjadi bagian dari kehidupan, fokus itu pun mulai terpecah. Bagaimana mungkin seseorang bisa sepenuh hati mendampingi umat jika waktu dan perhatian terpecah antara tanggung jawab agama dan urusan jabatan? Bukankah tugas Anda lebih mulia ketika sepenuhnya berdakwah?
Jabatan, sering kali penuh godaan. Banyak tokoh besar sebelum Anda yang akhirnya terseret arus kepentingan politik, hingga melupakan akar perjuangannya. Harapan umat kepada Anda sangat besar, Gus. Mereka ingin melihat yang tulus menyuarakan kebenaran tanpa beban jabatan.
Dulu, Anda dihormati sebagai ulama yang tegas, sederhana, dan membumi. Namun, sejak masuk ke ranah jabatan, banyak yang mulai mempertanyakan apakah semua langkah Anda murni untuk umat atau untuk menjaga hubungan dengan para pejabat lainnya. Ini bukan tuduhan, Gus, melainkan keprihatinan dari mereka yang mencintai Anda sebagai ulama.
Ketika seorang tokoh agama seperti Anda berada di lingkaran kekuasaan, banyak yang akhirnya melihat Anda sebagai bagian dari sistem itu. Sistem yang, celakanya, sering kali dianggap kurang berpihak kepada rakyat kecil. Bukankah lebih baik bagi seorang ulama untuk tetap menjaga jarak dari kekuasaan agar suaranya tetap murni?
Mungkin ini saat yang tepat untuk merenung. Apakah dengan bertahan di jabatan tersebut Anda masih bisa menjalankan peran sebagai ulama yang independen? Ataukah justru Anda akan terjebak dalam rutinitas duniawi yang akhirnya merusak kepercayaan umat?
Mundur dari jabatan bukanlah tanda kelemahan, Gus. Justru itu adalah bentuk keberanian dan kebesaran hati. Anda akan dikenang sebagai seorang ulama yang memilih kehormatan dan pengabdian kepada umat di atas segalanya.