Kita pasti tahu bahwa negara kita dikenal sebagai negara Agraris. tentu untuk menjadi Negara Agraris, yang paling utama adalah sektor pertanian karena berkontribusi penopang  perekonomian Negara kita bergantung pada  pertanian sebesar 13.25 Persen menurut data Badan Pusat Statistik (PDB).
Karena Negara kita juga terletak tepat di garis khatulistiwa, juga merupakan Negara paling banyak gunung berapi aktif di Dunia, sehingga  memberikan tanah-tanah yang subur untuk ditanami berbagai tanaman yang melimpah, serta begitu banyak aneka ragam hayati.
Isu perubahan iklim Global menjadi fokus utama Pemerintah untuk menjaga ketahanan pangan dan ekosistem alam, pangan adalah sumber keberlangsungan hidup setiap martabat bangsa bernegara. Tanpa Petani dan Pangan jadi apa Negara kita kedepan, mungkin banyak pembaca belum tahu bahwa pemerintah Indonesia juga pernah mendapatkan penghargaan dari IRRI terkait Sistem Pertanian-Pangan Tangguh dan Swasembada Beras Tahun 2019-2021 melalui Penggunaan Teknologi Inovasi Padi. Penghargaan diserahkan oleh Direktur Jenderal (IRRI), Jean Balie, kepada Presiden RI, Joko Widodo (Jokowi).
Yaa Petani adalah ujung tombak untuk menentukan stok pangan, setiap Negara manapun Petani menjadi andalan pemerintah, "Tidak ada petani kalian tidak makan" ungkapan para Petani.
Meskipun ada berbagai tantangan dinamika sosial ekonomi yang di hadapkan para Petani, Petani tetap bekerja memenuhi kebutuhan pangan secara konvensional.
Hadirnya Inovasi Teknologi  Pertanian terbarukan  jelas mempermudah  pekerjaan Petani, baik dari segi waktu dan biaya, pertanyaannya apakah Petani siap menerima tantangan tersebut ?. Ini menjadi dua kelas aspek  Petani Tradisional Dan Petani Modern, yaa... mau tidak mau sebagian Petani perlahan akan beradaptasi menggunakan teknologi  mesin di berbagai sektor menggantikan pekerjaan manusia. Negara tetangga sudah lebih dulu beralih ke teknologi dan hal tersebut adalah tuntutan zaman, Ibaratnya Seleksi Alam. Siapa kuat dia bertahan.
Banyak yang bertanya, apakah petani tradisional akan tersingkirkan, apakah peradaban petani tradisional akan hilang di Nusantara, kapasitasnya biarlah Pemerintah yang akan menjawab dan menjaga aspirasi kearifan lokal Petani Tradisional.
Setuju tidak setuju harus menjaga substansi budaya Gotong Royong, kalau di Jawa istilahnya Sambatan atau Minahasa Mapalus. Tetapi dari berbagai kehadiran berbasis Teknologi menjadi ancaman  juga bagi Petani yang melek Teknologi. Berdasarkan temuan data BPS Tahun 2023 sebanyak 46,84% Petani di Indonesia menggunakan teknologi digital dan alat mesin pertanian modern. Hampir separuh sudah menggunakan teknologi.
Di lain pihak juga ada beberapa Petani yang punya ketergantungan menggunakan pertanian Genetik  Kimiawi. Hal tersebut menjadi ancaman pada kesehatan dan bahkan ekosistem  hayati.
Di pasar para konsumen tidak bisa membedakan mana hasil produk Organik dan Kimiawi, Hasil kuantitas  belum tentu berkualitas. Karena  Negara kita masi bergantung ke bahan Import. Kita sebagai petani Milenial harus memberikan perhatian penuh edukasi dedikasi yang baik soal pertanian di sekitar kita.Â
Saya sebagai Generasi Milenial tentunya sadar karena saya lahir dari keluarga Petani, maka dari saya ingin menulis dengan ide pikiran saya soal "Degradasi Petani" "Ayo Gen M  bertani" adalah bentuk panggilan Pemerintah  kepada Generasi Milenial untuk sadar bertani guna menambah kebutuhan stok pangan yang masih kurang memenuhi kebutuhan isi perut  masyarakat indonesia. Hal tersebut menjadi perhatian serius pemerintah. Karena Pertanian indonesia sedang mengalami Degradasi.
Berbicara Degradasi Petani, tentunya juga menyangkut  sosial budaya, pendidikan, teknologi dan ekonomi. Dampak nyata dihadapi adalah degradasi lahan pertanian setiap tahun yang justru semakin sempit dan usia produktivitas  petani menurun, kemudian ada berbagai tantangan yang harus di hadapi dan di selesaikan Pemerintah, Masyarakat Sipil dan pihak Swasta soal konflik pembebasan lahan, serta menjadi perhatian serius bersama, karena dilapangan banyak ditemui dulunya lahan pertanian luas justru dialih fungsikan menjadi pabrik-pabrik, tambang ilegal,  dan perumahan mewah. Jelas hal tersebut menjadi cikal bakal Degradasi Lahan Pertanian yang dulunya produktif.
Oke, Saya tidak akan membahas soal konflik. Kembali ke topik,  saya pernah membaca judul berita di beberapa  media sosial soal kampanye pemerintah "Petani Millenial Ayok Bertani" guna menciptakan regenerasi yang berkelanjutan. Pemerintah mengajak Generasi Melenial  untuk bertani tapi beranggapan berbagai logika sebagian generasi milenial tidak punya lahan dan harga pertanian cukup fluktuatif di berbagai daerah, miris juga jika dibiarkan terjadi.
Kesiapan dan kematangan manajemen diperlukan semaksimal mungkin, hal tersebut harusnya Pemerintah yang menentukan harga pasar yang layak yang berpihak ke Petani. Yaa... memang banyak kendala, tentunya Petani Milenial harus memiliki mentor atau pendamping yang mengarahkan soal perkembangan pasar dan kebutuhan serta soal Isu kebijakan  sektor Pertanian juga perlu, apa lagi menyangkut ketersedian lahan dan pupuk juga menjadi kebutuhan yang tidak putus-putusnya karena itu adalah yang paling dasar dalam pertanian.
Sama-sama memiliki harapan antara Pemerintah dan Petani, Alih-alih isu kebijakan Pemerintah, ada berjuta hektar lahan gambut di pulau Papua dan Kalimantan menjadikan  kedua pulau tersebut sebagai Food Estate yang nantinya akan menjadi daerah lumbung pangan Nasional. program tersebut menjadi magnet bagi Petani Milenial dan masyarakat sekitar untuk mendapat dukungan elemen masyarakat dari Pemerintah.
Teknologi dan inovasi ada di generasi mudah, kita juga muda menemukan berbagai media mainstream  youtuber Petani Milenial Konvensional yang sukses menerapkan pertanian berbasis teknologi dan  berbagi tips bagaimana cepat sukses dan kaya, tapi dibalik itu ada hak istimewa yang mereka dapat, mungkin orang tuanya juragan tanah, ataupun bapaknya pengusaha atau pejabat Desa mungkin juga mendapat bantuan dari swasta. Semua tersedia lewat kesempatan dan takdir nasib.
Disisi lain kesejahteraan dan kemiskinan masih menjadi ketimpangan sosial, hal ini banyak dirasakan oleh petani di desa-desa sehingga mereka menginginkan anaknya untuk tidak lagi bekerja sebagai petani, ya namanya gengsi  yang sudah menjadi budaya, justru kita sebagai Generasi Milenial  yang harus meluruskan stigma negatif tersebut, supaya  profesi Petani tidak dipandang buruk atau sebelah mata. Tentunya ini menjadi tantangan bagi bangsa Indonesia dalam menyediakan generasi kerja cerdas unggul yang bersedia bekerja di sektor Pertanian.
Ada berbagai aspek langkah-langkah jitu pemerintah untuk menarik kembali minat peran generasi Milenial untuk bertani. Topik yang sengaja saya tulis tentang petani Milenial adalah sebuah objek dan subjek dipersatukan dalam gerakan mendukung kesetaraan dan kesejahteraan kepada Petani. Hal tersebut menjadi perhatian  serius Pemerintah, terutama menyangkut soal ketahanan pangan, kita masih berbenah dari dampak Covid 19 dari dampak musibah tersebut ekonomi kita tidak stabil, butuh pemulihan dari berbagai sektor. Â
Di tengah dinamika perubahan zaman, ada sekelompok khusus di antara para petani yang dipercaya sebagai aktor kunci yang akan memegang peranan besar dalam pembentukan masa depan pertanian Indonesia yang lebih maju lagi , petani milenial lah yang akan menjadi regenerasi selanjutnya, yaitu petani berusia 19 hingga 39 tahun yang mampu beradaptasi dengan teknologi, dengan semangat inovasi dan kemampuan adaptif teknologi yang lebih baik dari generasi pendahulunya, generasi muda sebagai agen perubahan yang diharapkan dapat mengambil alih tongkat estafet pertanian dengan pendekatan baru yang berinovasi memanfaatkan teknologi digital dalam praktik bertani.
Penulis: Yosmar Wungow
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H