...karena kalau masaknya sepenuh panci bisa tumpah, Darling.
Kapan hari jelang Asar, ibu mendapatiku dengan dua kompor menyala di dapur.
"Masak apa?" Tanyanya ceria. Rupanya ibu baru wungu.
"Sop makaroni, tumis pare pakai teri sama balado telur." Aku menunjuk telur ayam yang kurebus di panci dan kuah sop yang baru berisi kentang. Tadi aku ke pasar membeli makaroni, teri kesukaan Kakung dan cabe merah keriting.Â
"Nah, gitu dong. Semangat masaknya enggak kalo ada suami doang." Ibu mengacungkan dua jempol padaku. Aku tertawa mengiyakan.Â
Biasanya aku pasrah aja sama sayuran yang dibawa simbah Minah, nenek sayur langganan kami. Apa yang beliau bawa, itu yang kumasak. Bumbu rempah enggak lengkap, no problemo. Cuma lama-lama bosan juga menu masakan monoton. Simbah Minah membawa sayuran itu-itu saja. Sisa jualannya di pasar seharian.
Saat pak Zikri-suamiku mudik Banyumas, barulah aku ke pasar di kabupaten sebelah. Maklum, pasar terdekat tidak setiap hari buka. Pasarnya pasaran. Buka di hari dan weton tertentu yang tidak kuhapal waktunya. Padahal pasar itu letaknya tepat di prapatan Buntu, perempatan lampu lalu lintas yang ramai lancar sebagai jalur lintas provinsi.Â
Pekan lalu saat pak Zikri mudik, aku melengkapi bahan masakan dan membuat pengumuman kalo hari itu aku yang akan  memasak. Ibu memuji effort-ku. Segitunya kalo ada suami, katanya. Tentu saja harus demikian, batinku. Aku perempuan jadul yang berpendapat seorang istri idealnya memegang pakem soal tiga perkara ego suami.Â
Memenuhi kebutuhan perut, mendahulukan ego suami di waktu yang tepat serta menjaga kemaluannya.Â
Terdengar sempurna bukan?Â