Mohon tunggu...
Yosi Ana Agustin
Yosi Ana Agustin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pelajaran Spiritual di Balik Isu Gus Miftah dan Pedagang Es Teh

8 Desember 2024   16:13 Diperbarui: 8 Desember 2024   16:49 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dalam kehidupan sehari-hari, kita kerap menemui berbagai dinamika yang memengaruhi hubungan antar manusia. Salah satu insiden yang menjadi sorotan adalah peristiwa yang melibatkan Gus Miftah, seorang pendakwah ternama, dan seorang pedagang es teh. Kata-kata kasar yang terlontar kepada pedagang tersebut memicu perdebatan di masyarakat, menyoroti pentingnya menjaga akhlak, terutama bagi seorang tokoh agama yang menjadi panutan. Peristiwa ini membuka ruang refleksi mendalam tentang pelajaran spiritual, terutama dalam perspektif akhlak dan tasawuf.  

    1. Menjaga Lisan Sebagai Cerminan Keimanan

Dalam Islam, lisan adalah salah satu anugerah yang memiliki potensi besar untuk membawa kebaikan maupun keburukan. Oleh karena itu, menjaga lisan menjadi salah satu bentuk akhlak mulia yang sangat ditekankan. Rasulullah SAW bersabda: "Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam." (HR. Bukhari dan Muslim). Hadis ini mengingatkan bahwa setiap perkataan yang keluar dari mulut kita haruslah memiliki nilai kebaikan dan tidak melukai perasaan orang lain.  

Insiden yang terjadi antara Gus Miftah dan pedagang es teh menjadi contoh nyata betapa pentingnya menjaga lisan, terlebih ketika berada di ruang publik. Kata-kata kasar yang diucapkan bukan hanya melukai perasaan pedagang tersebut, tetapi juga berpotensi mencederai citra seorang pendakwah. Sebagai seorang yang dihormati dan diteladani, seorang pendakwah memiliki tanggung jawab moral untuk mencerminkan akhlak Islam dalam setiap perkataan dan tindakannya.  

Di sisi lain, insiden ini juga mengajarkan kita untuk tidak terburu-buru menghakimi. Setiap manusia, termasuk seorang tokoh agama, tidak terlepas dari kekhilafan. Yang menjadi ukuran bukanlah kesalahan yang dilakukan, tetapi bagaimana seseorang merespons kesalahannya. Gus Miftah, setelah mendapat kritik luas, menunjukkan sikap rendah hati dengan meminta maaf secara terbuka. Ini adalah contoh nyata bagaimana mengakui kesalahan dan berusaha memperbaikinya merupakan bagian dari ajaran Islam.  

2. Tasawuf: Kasih Sayang Sebagai Inti Spiritualitas

Tasawuf, sebagai dimensi spiritual dalam Islam, menekankan pentingnya kasih sayang kepada semua makhluk. Dalam pandangan tasawuf, setiap manusia adalah ciptaan Allah yang memiliki nilai intrinsik, tanpa memandang status sosial, pekerjaan, atau latar belakangnya. Kasih sayang ini menjadi landasan bagi seorang sufi dalam berinteraksi dengan sesama.  

Seorang sufi yang mencapai tingkat maqam tertinggi akan selalu menunjukkan sikap tawadhu' (rendah hati) dan empati terhadap sesama. Ia tidak akan memandang rendah orang lain, apalagi mengolok-olok mereka yang sedang berjuang untuk mencari nafkah. Sebaliknya, seorang sufi diajarkan untuk meringankan beban orang lain sebagai bentuk ibadah dan wujud cinta kepada Sang Khalik.  

Dalam konteks insiden Gus Miftah dan pedagang es teh, tindakan mengucapkan kata-kata kasar kepada seseorang yang sedang berusaha mencari rezeki bertentangan dengan prinsip dasar tasawuf. Tasawuf mengajarkan bahwa setiap interaksi harus didasari cinta dan hormat, sehingga mampu membawa kedamaian bagi kedua belah pihak. Insiden ini menjadi pengingat bagi kita semua untuk terus belajar mengendalikan emosi dan menjaga akhlak, agar setiap tindakan kita selaras dengan nilai-nilai spiritual yang diajarkan dalam Islam.  

3. Muhasabah: Introspeksi Diri Sebagai Jalan Perbaikan

Insiden ini juga memberikan pelajaran penting tentang muhasabah atau introspeksi diri. Dalam Islam, introspeksi merupakan salah satu langkah untuk memperbaiki diri dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Seorang mukmin yang sejati tidak akan merasa dirinya sempurna, tetapi senantiasa merenungkan setiap perbuatannya dan berusaha untuk menjadi lebih baik.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun