Dari masa ke masa, Liverpool selalu punya penyerang-penyerang ulung, yang dapat diandalkan. Mulai dari Ian Rush, Robbie Fowler, Fernando Torres, sampai Luis Suarez. Mereka adalah penyerang handal, yang amat produktif, di Liverpool. Ketajaman mereka, menjadi senjata utama serangan tim, yang dapat menentukan hasil akhir laga. Karenanya, ketergantungan tim pada mereka amat tinggi.
Jika mereka absen, karena cedera, suspensi, atau tugas negara, ketajaman lini serang tim akan berkurang. Tak jarang, performa tim justru anjlok karenanya. Ini terjadi, pada kasus Daniel Sturridge, ujung tombak Si Merah, setelah Luis Suarez. Setelah kepergian Suarez, awalnya Liverpool mempercayakan posisi ujung tombak tim, pada Daniel Sturridge, tandem Suarez di lini depan. Karena, Sturridge cukup produktif, dan oportunis. Tapi, sejak kepergian Suarez, Sturridge justru sering absen karena cedera. Mario Balotelli, yang diplot sebagai penggantinya, justru tak produktif. Begitu juga dengan Roberto Firmino, maupun Divock Origi. Akibatnya, Si Merah gagal finis di 4 besar EPL, dalam 2 musim beruntun (2014/2015, dan 2015/2016).
Masalah kebugaran Sturridge, dan belum tajamnya Firmino dan Origi, membuat pelatih Juergen Klopp segera bertindak, dengan menggaet Sadio Mane, dari Southampton, musim panas 2016. Konsistensi performa, dan catatan cedera Mane yang sangat minim, menjadi nilai tambahnya. Secara taktis, Mane juga dipandang pas, dalam sistem permainan gegenpressing Klopp. Karena, daya jelajah, penyelesaian akhir, dan kerjasama timnya yang oke, akan melengkapi kreativitas duo Brasil (Coutinho, dan Firmino).
Awalnya, semua berjalan lancar. Sinergi trio Mane-Coutinho-Firmino, yang cukup tajam, sukses mengantar Liverpool ke papan atas EPL. Dana 30 juta pound, yang dibayar Liverpool untuk mengangkut Mane, terbukti sesuai, dengan kualitas si pemain. Optimisme pun muncul, berkat ketajaman mereka bertiga.
Tapi, situasi berubah, pada bulan Januari 2017, saat Mane absen. Absensi Mane, karena harus tampil bersama timnas Senegal, di Piala Afrika, belum mampu digantikan pemain lain. Akibatnya, performa Si Merah pun anjlok. Dari 9 laga, di liga, dan piala domestik (Piala Liga dan Piala FA) yang dijalani sepanjang Januari, Liverpool hanya 1 kali menang, 4 kali imbang, dan 4 kali kalah. Bisa dibilang, mereka gagal lolos, pada ujian pertama tanpa Mane.
Saat Mane kembali, pada awal Februari, performa Si Merah kembali membaik. Mereka pun mampu tetap bersaing di papan atas EPL. Agaknya, target finis di 4 besar klasemen, akan tercapai dengan mulus.
Tapi, ujian kembali datang, saat mereka mengalahkan Everton 3-1, Sabtu (1/4) lalu, Mane, yang mencetak gol pembuka, tak bisa menuntaskan laga, akibat mengalami cedera lutut, setelah ditekel Leighton Baines. Setelah tanpa kepastian, sampai setelah laga versus Bournemouth (imbang 2-2), akhirnya vonis itu datang. Mane terkena cedera lutut, dan harus dioperasi. Praktis, musim ini sudah selesai bagi Mane. Liverpool pun harus menjalani semua laga sisa musim ini (termasuk melawan Stoke City akhir pekan ini) tanpa Mane, yang sudah mendonasi 13 gol dan 5 assist, dari 27 penampilannya di liga. Setelah gagal, di ujian pertamanya tanpa Mane, mampukah Liverpool sukses, di ujian kedua mereka?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H