Bicara soal sosok Ryan Giggs (44), tentu tak bisa dilepaskan dari klub Manchester United (MU). Sosok yang identik dengan nomor punggung 11 ini, menghabiskan seluruh karir profesionalnya di MU, sejak debut tahun 1990, sampai pensiun tahun 2014. Bersama United, bisa dibilang ia meraih segalanya sebagai pemain di level antarklub; mulai dari capaian personal, sampai capaian secara tim. Capaian terbesarnya bersama United, adalah mendominasi EPL pada dekade 1990-an, dan 2000-an, plus 2 kali juara Liga Champion (tahun 1999, dan 2008). Terlepas dari capaiannya yang nirprestasi bersama timnas Wales, Giggs tetaplah seorang pemain yang sukses, dan sangat loyal di MU.
Dalam hidup, termasuk sepak bola, selalu ada awal dan akhir. Begitu juga dengan karir bermain Giggs di MU. Tapi, akhir karir bermain Giggs tergolong unik. Pada musim terakhirnya sebagai pemain (2013/2014), Giggs menjalani peran sebagai player-coach di bawah arahan pelatih David Moyes. Bagi seorang pesepakbola, khususnya yang ingin menapak karir kepelatihan, ini adalah situasi ideal. Dengan peran ganda ini, mereka bisa mempersiapkan masa pensiun sebagai pemain, sambil mulai bertransisi menjadi pelatih.
Awalnya, semua terlihat lancar bagi Giggs. Bahkan, pada pekan-pekan terakhir musim 2013/2014, ia dipromosikan menjadi player-caretaker manager, menggantikan David Moyes yang dipecat, akibat performa buruk Setan Merah. Meski hanya memimpin tim dalam 4 laga, potensi Giggs sebagai pelatih dianggap cukup menjanjikan, untuk ukuran pelatih pemula. Karena, Giggs mencatat 2 kemenangan, 1 kali imbang, dan 1 kali kalah.
Sayangnya, Giggs sedang berada, di tim yang sedang mengubah pola pikirnya; dari berpikir sabar menjadi berpikir instan. Alhasil, saat MU menunjuk Louis Van Gaal sebagai pelatih tahun 2014, Giggs harus kembali ke posisi awal, yakni sebagai staf pelatih. Kali ini, ia bertugas penuh, sebagai asisten Si Tulip Besi. Kebersamaan keduanya, berlangsung sampai Van Gaal dipecat tahun 2016, tak lama setelah membawa MU menjuarai Piala FA, akibat gagal finis di posisi 4 besar EPL.
Dipecatnya Van Gaal, yang digantikan Jose Mourinho, rupanya menjadi awal masa suram karir kepelatihan Giggs. Ketidakcocokan, antara posisi yang diinginkannya, dengan posisi yang ditawarkan Mourinho, menjadi penyebabnya. Giggs menghendaki tetap menjadi asisten pelatih, sedangkan Mourinho menghendakinya menjadi staf pelatih biasa (coach), atau pelatih tim junior. Akibat ketidakcocokan ini, Giggs pun hengkang dari MU.
Setelahnya, perkembangan karir kepelatihan Giggs praktis terhenti. Karena, ia hanya berminat melatih klub kasta tertinggi. Tapi, pada saat bersamaan, ia selalu ditolak, oleh klub yang dilamarnya, akibat pengalaman melatihnya yang minim. Penolakan ini, dua kali dialaminya, yakni, saat melamar ke Swansea (Oktober 2016), dan Southampton (Juni 2017). Di sini, baik Swansea maupun Soton, jelas tidak ingin berjudi, dengan menunjuk pelatih minim pengalaman. Alhasil, kini Giggs masih berstatus tanpa klub. Masa suram karir kepelatihannya pun masih berlanjut.
Nasib suram yang sedang dialami Giggs saat ini membuktikan, pepatah "hidup itu seperti putaran roda", benar adanya. Semasa bermain, Giggs memang sangat sukses. Tapi, saat menapak karir kepelatihan, itu semua tidak ada artinya. Karena, dunia kepelatihan berbeda dengan karir bermain di lapangan hijau. Sehingga, setiap orang yang mulai melatih, harus siap memulai lagi karir dari bawah. Jika tidak, ia tak akan berkembang.
Agaknya, Giggs kini harus mulai belajar, dari pengalaman Carlo Ancelotti, Pep Guardiola, dan Zinedine Zidane, tiga sosok yang sukses berprestasi, baik sebagai pemain, maupun pelatih. Meski sukses sebagai pemain, ketiganya sama-sama memulai karir melatih dari bawah, sebelum akhirnya meraih prestasi. Ancelotti memulai karir melatihnya di Reggiana, sebuah klub kecil di Italia. Sedangkan, Guardiola, dan Zidane sama-sama memulai karir melatih di tim B (tim cadangan) klub La Liga Spanyol; Guardiola di Barca B, sedangkan Zidane di Real Madrid Castilla.
Catatan sukses seseorang di masa lalu mungkin membanggakan. Tapi, sesukses apapun mereka, itu semua tidak akan berarti, saat mereka memasuki dunia baru yang sama sekali berbeda. Di sini, mereka harus siap memulai lagi segalanya dari nol. Jika tidak, mereka tak akan berkembang. Bagaimanapun, memulai segala sesuatu dari bawah, bukanlah hal yang memalukan. Bisa jadi, itu adalah awal dari sebuah kesuksesan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H