Sejak September 2016, Marco Van Basten menjabat, sebagai Direktur Teknik FIFA. Eks pemain, dan pelatih timnas Belanda ini, turut berkontribusi, dalam mendukung terwujudnya wacana penambahan jumlah negara peserta Piala Dunia (per 2026 menjadi 48 peserta), dan uji coba penggunaan VAR (Video Assistant Referee), di turnamen Piala Dunia Antarklub Desember 2016 silam.
Van Basten lalu mewacanakan perlunya beberapa perubahan, pada aturan sepakbola yang berlaku saat ini. Meski pada prosesnya, perlu persetujuan dari IFAB, badan khusus internasional, yang mengatur regulasi permainan sepakbola. Pertama, dihapusnya aturan off-side dalam sepakbola. Kedua, perlu adanya batas maksimal, pada jumlah laga, yang bisa dimainkan seorang pemain tiap tahunnya (55-60 laga per tahun). Ketiga, perlunya penerapan sistem tiga kartu (kuning-oranye-merah), untuk mensanksi pelanggaran. Jika seorang pemain mendapat kartu oranye, maka ia harus menepi dari lapangan, dan masuk area khusus, selama 10 menit, tapi, jika mendapat kartu merah, si pemain harus keluar dari pertandingan.
Keempat, perlu dihapusnya babak perpanjangan waktu. Kelima, dihapusnya adu penalti, yang diganti dengan penalty challenge (menggiring bola dari jarak 25 meter, atau langsung menembaknya ke gawang ysng dijaga kiper, dengan batas waktu 8 detik). Keenam, membagi sepakbola menjadi empat kuarter. Ketujuh, membatasi jumlah pelanggaran, yang boleh dilakukan pemain, dalam satu pertandingan.
Dari ketujuh wacana itu, 4 diantaranya, mengadopsi aturan dari olahraga lain; hoki es (poin ke 3, 4, dan 5), dan basket (poin ke 6). Dua poin lainnya (poin ke 2, dan 7), belum pernah diterapkan sebelumnya, dan sisanya (poin pertama), merupakan modifikasi retrospektif (penerapan kembali), aturan sepakbola, sebelum tahun 1863. Aturan baku offside sendiri, ditetapkan mulai tahun 1863, dengan mengadopsi aturan, dari olahraga rugby. Dalam perkembangannya, aturan offside mengalami beberapa kali modifikasi, menyesuaikan dengan tren pola permainan, dari masa ke masa.
Secara logis, yang dapat diterapkan, dari ketujuh wacana itu, adalah wacana ke 2, 3, dan 7. Pada wacana kedua, Van Basten melihat, perlunya perlindungan pada pemain, dari eksploitasi fisik secara berlebihan, yang dapat mencederai, atau bahkan membahayakan pemain. Maka, perlu ada batas maksimal, pada jumlah laga, yang bisa dimainkan seorang pemain tiap tahunnya (55-60 laga per tahun). Perlindungan kedua pada pemain, muncul dari wacana poin ke 7.Â
Dengan dibatasinya jumlah pelanggaran, potensi terjadinya permainan keras menjurus kasar, dan cedera parah, yang dapat menamatkan karir pemain, akan berkurang. Pada poin ini, Van Basten agaknya belajar, dari pengalamannya dahulu. Karir Van Basten sebagai pemain, harus tamat lebih awal, karena menderita cedera engkel parah. Cedera ini, didapat dari sejumlah tekel keras pemain lawan, yang sering mengincar engkelnya.
Sedangkan, pada wacana ketiga (kartu kuning-oranye-merah), jika aturan ini diterapkan, akan menarik secara taktikal. Karena tidak langsung mematikan peluang menang tim. Di titik ini, kemampuan taktikal pelatih akan diuji. Tapi, sebaiknya perlu ada modifikasi ketentuan. Supaya, hukuman larangan bermain selama 10 menit, akibat mendapat kartu oranye, tidak dijadikan pemain terhukum, sebagai kesempatan 'mengisi baterai', sebelum akhirnya boleh bermain lagi.Â
Karena, jika tidak dimodifikasi, para pemain yang sudah lelah, dan mendapat kartu kuning, akan berusaha meng-oranye-kan kartunya, supaya dapat memulihkan tenaga. Akibatnya, jumlah pelanggaran justru akan meningkat. Kelemahan mendasar, dari wacana kartu kuning-oranye-merah, adalah, wacana ini tidak sinkron dengan wacana pembatasan jumlah pelanggaran, oleh seorang pemain. Karena, wacana kartu kuning-oranye-merah ini, justru lebih longgar, dari aturan yang ada saat ini (kartu kuning-merah). Ketidaksinkronan ini, justru akan menimbulkan kekacauan, jika keduanya diterapkan bersamaan.
Sedangkan, 4 poin wacana lainnya (poin ke 1, 4, 5, dan 6), tidak efektif, jika diterapkan di sepakbola, yang ukuran lapangannya luas. Poin ke 1, hanya akan membuat pemain menyerang cenderung menjadi malas bergerak. Permainan justru akan cenderung statis, akibat minimnya pergerakan pemain depan. Poin ke 1, justru efektif, dan sulses diterapkan, di olahraga futsal. Karena, ukuran lapangannya lebih kecil. Meski tak ada aturan offside, pemain futsal mau tak mau, harus terus bergerak aktif, untuk mencari ruang tembak, mengumpan, atau mengantisipasi serangan lawan, dalam ruang gerak terbatas. Alhasil, permainan futsal pun menjadi dinamis, meski tanpa aturan offside.
Poin wacana ke 4, dan 5, mengadopsi sepenuhnya, aturan hoki es. Tapi, wacana ini tidak efektif. Dihapusnya perpanjangan waktu (poin ke 4), justru akan mengurangi kualitas permainan. Untuk poin wacana ini, pada periode 1996-2004, FIFA pernah menerapkan aturan golden goal, silver goal, dan sudden death, dimana pertandingan langsung selesai, saat salah satu timÂ
Mencetak gol di babak perpanjangan waktu, dan jika tak ada gol, dilanjutkan adu penalti. Aturan ini, sekilas mirip dengan poin wacana ke 4, meski hanya mempersingkat durasi waktu babak perpanjangan waktu. Tapi, aturan ini dihapus, karena justru mengurangi kualitas permainan, dan menuai panen kritik. Sedangkan, untuk penalty challenge (poin ke 5), wacana ini jelas tidak tepat, jika diterapkan di sepakbola. Jika penalty challenge diterapkan, akan menjadi tidak adil. Karena ini hanya akan memudahkan tugas eksekutor, tapi akan menyulitkan tugas kiper.