Bicara soal Monaco, hal-hal yang umumnya terpikir pertama kali, adalah sirkuit balap, kasino, atau benderanya. Sekilas, bendera Monaco memang mirip dengan negara kita. Tapi, Monaco adalah sebuah daerah otonomi khusus di Prancis, yang dipimpin oleh Raja sebagai kepala daerahnya. Di Indonesia, status Monaco, kurang lebih mirip, dengan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), yang dipimpin Raja Keraton Yogyakarta, sebagai gubernur, dan Adipati Puro Pakualaman, sebagai wakilnya.
Identitas lain, yang menjadi ciri khas Monaco, adalah AS Monaco, klub peserta Ligue 1 Prancis.
Secara historis, AS Monaco adalah salah satu klub tersukses di Prancis. Bersama Olimpique Lyon, mereka sama-sama sukses menjuarai Ligue 1 sebanyak 7 kali, atau terbanyak keempat, setelah AS Saint Ettiene (10 kali), Oimpique Marseille (9), dan Nantes (8). Raihan gelar liga Si Merah Putih, sedikit diatas PSG (6), yang dominan dalam beberapa tahun terakhir. Di tingkat Eropa, mereka mampu mencapai final Liga Champions, musim 2003/2004, atau menjadi klub kedua dari Prancis yang melakukannya, setelah Olimpique Marseille (1992/1993). Meski kalah 0-3 dari FC Porto (Portugal), yang dilatih Jose Mourinho, capaian AS Monaco kala itu sungguh istimewa. Karena, mereka mampu menumbangkan Real Madrid, dalam perjalanan menuju final, dengan materi tim tak terlalu istimewa, dibanding tim raksasa Eropa pada umumnya, dan ditangani Didier Deschamps (kini pelatih timnas Prancis), yang kala itu baru menjalani tahun-tahun awal karir kepelatihannya.
Sebelum mencetak prestasi itu, Si Merah Putih, lebih dikenal sebagai klub milik kerajaan, dengan akademi pemain muda bagus, yang juga menjadi batu loncatan pemain bintang. Alumnus akademi AS Monaco yang menjadi pemain bintang, diantaranya adalah Lilian Thuram, Emmanuel Petit, dan Thierry Henry (Prancis). Sedangkan, pemain-pemain, yang menjadikan AS Monaco sebagai batu loncatan, diantaranya George Weah (Liberia), dan Yaya Toure (Pantai Gading). Selain itu, klub ini juga menjadi persinggahan beberapa pemain terkenal, seperti, Juergen Klinsmann (Jerman), Fernando Morientes (Spanyol) ,atau Ricardo Carvalho (Portugal). Di area teknis, pelatih terkenal, yang pernah menangani AS Monaco, diantaranya, Arsene Wenger, Didier Deschamps (Prancis), dan Claudio Ranieri.
Seperti lazimnya sebuah klub, AS Monaco kerap mengalami pasang surut. Setelah sempat naik-turun divisi, pada dekade 1970an-awal 1980an, AS Monaco baru mulai bangkit, pada akhir 1980-an, yang ditandai dengan raihan gelar juara Ligue 1 tahun 1988, di bawah arahan Arsene Wenger. Sejak saat itu, AS Monaco bertransformasi, menjadi klub papan atas di Prancis, yang konsisten. Transformasi mencapai titik puncaknya, saat mereka lolos ke fiinal Liga Champions Eropa tahun 2004, meski sedang dilanda krisis keuangan.
Tapi, titik puncak itu, justru menjadi awal kemunduran mereka. Akibat krisis keuangan, satu persatu pemain kunci tim, seperti Patrice Evra (Prancis), Ludovic Giuly (Prancis), Douglas Maicon (Brasil), dan Emmanuel Adebayor (Togo) dijual, untuk mengurangi beban keuangan klub. Sayang, pemain pengganti yang didatangkan, tak semua berkualitas sepadan, situasi itu, diperparah, dengan salah urus manajemen klub. Akibatnya, performa tim pun anjlok. Monaco, bertransformasi, menjadi klub papan tengah, tanpa bisa berbuat banyak di bursa transfer. Mereka mencapai titik nadir, saat terdegradasi tahun 2011.
Monaco langsung mendapat angin segar, saat Dimitri Ryobolovlev (pebisnis asal Rusia) mengambil alih mayoritas klub, akhir 2011. Untuk langkah pertama, Ryobolovlev mencanangkan target promosi secepatnya. Setelah gagal promosi, tahun 2012, Monaco kembali ke Ligue 1 tahun 2013, di bawah arahan Claudio Ranieri (Italia). Segera setelah promosi, mereka berbelanja besar-besaran, diantaranya dengan menggaet Radamel Falcao, dan James Rodtiguez (Kolombia). Pada saat bersamaan, mereka juga mempromosikan Lawyn Kurzawa, Geoffrey Kondogbia, dan Anthony Martial. Hasilnya, Monaco kembali ke papan atas. Sejak promosi kembali, mereka juga rutin lolos ke Liga Champions Eropa tiap musimnya. Pergantian pelatih, dari Claudio Ranieri, ke Leonardo Jardim (Portugal), tahun 2014, tak mengganggu kestabilan performa tim.
Di tangan Jardim, Monaco bertransformasi, menjadi tim yang sangat tajam. Jardim dengan cerdik mengakomodasi kemampuan tiap pemain yang ada di timnya. Konsepnya pun sama: sinergi pemain akademi, (Misal: Thomas Lemar, dan Kylian Mbappe) dan pemain yang dibeli klub (Misal: Falcao, Bernardo Silva, dan Tiemoue Bakayoko), dengan sebagian diantaranya, diageni oleh Jorge Mendes, super agen asal Portugal. Berbeda dengan Roman Abramovich (bos Chelsea asal Rusia), Ryobolovlev cenderung lebih sabar, tidak asal pecat pelatih. Dalam hal belanja pemain, Ryobolovlev, yang awalnya boros, mampu berbelanja dengan rasional. Tipe target incarannya pun jelas; berkualitas, tapi harganya masuk akal. Hasilnya, pada musim ketiga Jardim di Monaco, Monaco mampu tampil sebagai tim yang konsisten, dan kompak di Ligue 1.
Pada pekan ke 29 (Sabtu,11/3, waktu Prancis), mereka sukses mengalahkan Bordeaux 2-1, berkat gol Joao Moutinho, dan Kylian Mbappe, yang hanya mampu dibalas Diego Rolan. Kemenangan ini, membuat Monaco duduk di puncak klasemen, dengan nilai 68, unggul 5 poin atas Nice (63), yang pada hari yang sama tertahan 2-2 oleh Caen, dan 6 poin atas PSG (62), yang baru akan bermain Minggu (12/2).
Di Liga Champions, mereka juga masih mempunyai harapan lolos, kendati kalah 3-5 atas Manchester City (Inggris) pada leg ke 1 di Manchester. Harapan ini, didasari oleh ketajaman mereka, yang sejauh ini mampu mencetak 86 gol, dan kebobolan 26 gol, dari 29 laga di Ligue 1 musim 2016/2017. Apalagi, laga leg ke 2, akan digelar di kandang Monaco, Kamis (16/3, dinihari WIB). Dengan ketajaman mereka dalam mencetak gol, mampukah mereka mengakhiri musim dengan gelar juara?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H