Liga Primer Skotlandia musim kompetisi 2016/2017, menyajikan satu pemandangan baru tapi lama; kembalinya rivalitas duo Glasgow (Celtic dan Rangers) di papan atas klasemen. Pemandangan ini baru, karena menjadi yang pertama sejak musim 2011/2012, saat Rangers menjadi juara, tapi gelar itu dicopot, dan mereka didegradasi ke divisi tiga (kasta keempat kompetisi domestik Skotllandia), karena mengalami krisis keuuangan kronis.Â
Di sisi lain, ini sebetulnya pemandangan lama. Karena, sejak Liga Skotlandia mulai bergulir, musim 1890/1891, keduanya mengoleksi total 101 gelar juara liga (Celtic juara 47 kali, Rangers 54 kali), dari total 126 musim kompetisi yang sudah digelar, sejauh ini, hingga musim 2015/2016.
Duo Glasgow ini, juga menjadi representasi sepakbola Skotlandia di Eropa, dengan Celtic mampu menjuarai Liga Champions Eropa musim 1966/1967, dan Rangers menjuarai Piala Winners (almarhum, kini setingkat Liga Europa) musim 1971/1972. Setelah pergantian millennium pun, Celtic dan Rangers sama-sama mampu mencapai final Piala UEFA (kini Liga Europa), masing-masing pada musim 2002/2003 (Celtic), dan 2007/2008 (Rangers). Tapi, belakangan, keduanya sulit mencetak prestasi bagus di kompetisi antarklub Eropa.
Dominasi kuat duo Glasgow ini, menuai kecaman pelaku sepakbola Skotlandia. Keduanya dianggap mematikan peluang klub-klub lain untuk berkompetisi, sehingga mereka disarankan segera ‘minggat' dari Liga Skotlandia, demi kebaikan sepakbola Skotlandia. Sebagai tindak lanjut, Celtic dan Rangers, sempat berencana pindah ke Liga Inggris, tapi rencana itu ditolak FIFA.
Duopoli ini sempat menjadi monopoli, setelah Rangers didegradasi ke divisi tiga. Alhasil, Celtic mampu mendominasi liga sendirian, dengan menjuarai Liga Skotlandia secara beruntun, antara musim 2011/2012, hingga musim 2015/2016. Promosinya Rangers, dari divisi dua, akhir musim 2015/2016, disambung performa bagus mereka musim ini, mampu mengembalikan Gers ke dua besar  klasemen. Tapi, Celtic tetap sulit dikejar. Sampai jeda musim dingin, Celtic mampu mencatat 19 kemenangan, dan 1 kali imbang, dari 20 laga yang sudah dijalani. Nilai Celtic (58), sangat jauh dibanding nilai mereka (39).
Secara materi, kualitas kedua tim jauh berbeda, perbedaannya terdapat pada materi lini serang tim, dan sosok pelatih. Celtic mempunyai sosok pencetak gol andal, dalam sosok Moussa Dembele (Prancis, eks pemain Fulham), di posisi gelandang serang, mereka punya Scott Sinclair (Inggris, eks Manchester City), dan Patrick Roberts (Inggris, dipinjam dari Manchester City), di posisi bek, The Bhoys mempunyai Kolo Toure (Pantai Gading, eks Arsenal dan Liverpool), sebagai komandan. Ditambah lagi, sejak Mei 2016 Celtic dilatih Brendan Rodgers (Irlandia Utara, eks pelatih Liverpool).
Sedangkan, Rangers hanya bagus di lini tengah, dan belakang, tanpa adanya sosok pencetak gol andal di depan, dengan Niko Kramjcar (Kroasia, eks Tottenham Hotspur), dan Phillipe Senderos (Swiss, eks Arsenal), sebagai personel utama. Selebihnya, materi tim Rangers diisi pemain asal Inggris, dan Skotlandia, dengan Mark Warburton (Inggris, eks pelatih Brentford, klub divisi dua Liga Inggris) sebagai pelatih.
Meski sangat dominan, dominasi mereka tak pernah memberi dampak signifikan, untuk timnas Skotlandia. Karena keduanya rutin menjadikan pemain asing, sebagai pilar utama tim. Akibatnya, timnas Skotlandia belakangan sulit lolos ke turnamen antarnegara. Fase grup Piala Dunia 1998, menjadi penampilan terakhir The Tartan Army di turnamen besar sejauh ini.
Apa yang terjadi di Liga Skotlandia, mencerminkan, terlalu dominannya satu-dua tim, dalam sebuah kompetisi, bisa memberikan dampak buruk untuk kompetisi tersebut, karena tidak seimbangnya level kemampuan antarpeserta. Bagi sebuah tim nasional, pola dominasi liga semacam ini akan merugikan, jika yang rutin menjadi pilar utama tim tersebut, adalah pemain asing, bukan pemain lokal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H