Di sepakbola, ada tiga hal, yang dapat menghambat, bahkan merusak karir seorang pemain. Pertama adalah cedera. Cedera memang menjadi resiko umum, dalam bermain sepakbola. Mulai dari yang ringan, seperti lecet atau kram otot, sampai patah tulang, pasti akan, atau pernah dialami seorang pesepakbola. Jika frekuensinya jarang, dan tertangani dengan baik, tentu itu bukan masalah serius. Tapi, jika frekuensinya sering, dan tidak ditangani sampai tuntas, karir si pemain tentu akan terhambat. Bakatnya pun sulit berkembang.
Pada dekade akhir 1990an-awal 2000an, kasus ini, pernah dialami Luiz Ronaldo (Brasil), dan Michael Owen (Inggris). Keduanya adalah penyerang cepat, yang punya sentuhan klinis. Tapi, karir keduanya kerap diganggu cedera kambuhan; Ronaldo dengan cedera lututnya, dan Owen, dengan cedera betisnya. Masalah cedera, membuat karir keduanya redup lebih cepat. Tapi, setidaknya karir mereka tidak berakhir tragis, seperti Marco van Basten (Belanda), yang terpaksa tamat lebih awal, akibat cedera engkel parah. Masalah cedera engkel, memang sudah sering dialami van Basten, sejak awal karirnya.
Pada dekade terkini, kita menemui contoh, pada diri Jack Wilshere (Inggris), dan Abou Diaby (Prancis). Kedua pemain, yang sama-sama mencuat di Arsenal, sempat dianggap sebagai calon bintang masa depan. Tapi, perkembangan karir keduanya terhambat, karena mereka lebih sering berada di ruang perawatan, daripada bermain di lapangan. Diaby kini memperkuat Marseille, sedangkan Wilshere dipinjamkan Arsenal ke Bournemouth, dengan predikat sebagai pemain rentan cedera.
Hambatan kedua adalah masalah disipliner. Masalah ini biasanya muncul, ketika seorang pemain merasa puas diri, atau silau dengan kebintangannya sendiri. Pada masa lalu, kita menemui contoh, pada diri Diego Maradona. Pemain yang membawa Argentina juara, tahun 1986 ini, menghiasi tahun-tahun terakhir karirnya, dengan sejumlah skorsing, akibat kasus doping, dan kecanduan obat terlarang. Masalah kecanduan ini, baru tuntas direhabilitasi, bertahun-tahun setelah ia pensiun. Meski berstatus legenda, sisi negatif El Diego, juga terlanjur lekat dengannya.
Pada saat ini, sosok Mario Balotelli menjadi contoh aktual. Menjalani awal karir yang cukup bagus, karir Balo justru berantakan, di usia matang pesepakbola, karena kerap bertingkah tak disiplin. Pemain yang kini memperkuat Nice (Prancis) itu, lebih suka bertingkah nyentrik, daripada konsisten mencetak gol. Dari sisi disipliner, pemain asal Italia ini, sudah mencatat 6 kartu kuning, dan 3 kartu merah. Catatan disiplinernya, membuat torehan 11 golnya dari total 20 laga bersama Nice, menjadi kurang berarti. Alih-alih menjadi andalan tim, Balo justru menjadi beban. Jika sikapnya tidak berubah, boleh jadi, saat pensiun nanti, Balo akan lebih diingat, karena selebrasi pose Hulk-nya, saat Euro 2012 yang memegenic itu, dan selebrasi "why always me?"-nya di Derby Manchester. Tingkah nyentrik Balo, membuatnya terlihat seperti komedian yang juga pesepakbola.
Hambatan ketiga, datang dari luar. Tepatnya, dari ekspektasi berlebihan, kepada pemain, yang dianggap berbakat. Para pemain ini, kerap dibandingkan, dengan pemain legendaris di masa lalu, karena bakatnya. Kasus ini, biasa terjadi di Argentina, pasca era Maradona berakhir. Setiap kali pemain muda berbakat, dengan posisi nomor 10 muncul, hampir pasti dibandingkan, dengan Maradona. Pemain-pemain, seperti Ariel Ortega, Juan Sebastian Veron, Juan Roman Riquelme, dan Pablo Aimar, pernah bergantian mendapat cap "The Next Maradona". Tapi, cap "The Next Maradona", selalu menjadi beban, bagi siapapun penyandangnya. Akibatnya, prestasi mereka di Piala Dunia, belum pernah ada, yang menyamai, apalagi melewati El Diego. "The Next Maradona", yang dianggap paling mendekati, adalah Lionel Messi. Pemain yang juga kidal, seperti halnya Maradona ini, mampu menjadi finalis Piala Dunia 2014. Tapi, tetap saja itu dianggap belum cukup. Karena ia masih belum meraih trofi juara dunia.
Cedera, disipliner, dan ekspektasi berlebihan, di satu sisi, menjadi ancaman, bagi karir tiap pesepakbola. Di sisi lain, itu menjadi tantangan bagi si pemain, untuk dapat lebih berkembang, dan mengoptimalkan potensinya. Tentunya, dengan didasari sikap profesional, tanpa lupa menjadi diri sendiri. Jika tantangan itu dapat terlewati, niscaya ia akan menjadi pemain yang benar-benar berkualitas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H