Harga adalah ukuran, dan pengakuan atas sebuah kualitas. Semakin tinggi kualitas, semakin tinggi pula harganya. Di sisi lain, harga juga menjadi tolok ukur harapan. Semakin mahal, (seharusnya) makin bisa diharapkan. Pandangan ini, terjadi pada pemain-pemain termahal di liga-liga Eropa. Tetapi, ada dua jenis sikap, yang diterapkan, atas mereka.
Pertama, sikap normal, dan, kedua, sikap berlebihan. Jenis sikap pertama, biasa diterapkan oleh klub, dan media dari liga-liga Eropa daratan. Biasanya, gaung pemberitaannya, hanya sebatas transfer pemain, dan bagaimana dampaknya buat strategi tim. Kalaupun ada pemberitaan negatif, pemberitaan itu masih berkaitan dengan aspek keolahragaan. Porsi kritiknya pun tidak berlebihan Selebihnya, si pemain ‘didiamkan' untuk sementara, supaya dapat berproses, memperbaiki performa. Jika  performanya sudah bagus, mereka akan menerima pujian secukupnya, sambil ditantang supaya bisa lebih baik lagi.
Contoh kasusnya terjadi pada Gareth Bale, dan Gonzalo Higuain. Gareth Bale, yang dibeli Real Madrid, dari Tottenham Hotspur tahun 2013, seharga 85 juta pounds, -rekor transfer La Liga, dan dunia kala itu- sempat dikritik, karena kesulitan beradaptasi dengan skema tim. Tetapi, Bale lalu berproses, dan terus meningkatkan performa. Hasilnya, ia kini menjadi pemain kunci tim. Real Madrid juga menjadi tim bermesin ganda, yang terwujud dalam sosok Cristiano Ronaldo, dan Gareth Bale.
Pada kasus Gonzalo Higuain, sorotan muncul karena kepindahannya dari Napoli ke Juventus, seharga 75,4 juta pounds, Â musim panas 2016, memecahkan rekor transfer Liga Italia, dan tergolong kontroversial, karena ketatnya rivalitas Juve-Napoli. Pascatransfer itu, Higuain banyak menerima kritikan, karena dianggap kegemukan, dan kurang bugar. Ia lalu memperbaiki pola makan, dan meningkatkan kebugaran. Hasilnya, ia mampu menemukan kembali sentuhannya. Termasuk, saat mencetak dua gol ke gawang Torino, Minggu (11/12). Dalam laga itu, Juve menang 3-1.
Jenis sikap yang kedua, biasa diterapkan oleh media, dan klub Liga Primer Inggris. Di sini, pemain berharga ‘termahal di liga' disorot nonstop, dari berbagai sisi, mulai dari aspek teknis di lapangan, sampai kehidupan pribadinya. Jika performanya bagus, ia akan dipuji setinggi langit, sedangkan, jika performanya jelek, ia akan diolok habis. Kasus transfer Andriy Shevchenko (Chelsea, 30 Juta pounds 2006), Fernando Torres (Chelsea, 50 juta pounds, 2011), dan Angel Di Maria (Man Utd, 59,7 juta pounds 2014), menunjukkan, menjadi pemain termahal di Liga Inggris, adalah suatu bencana.
Sorotan nonstop, yang didapat karena harga mahal mereka, membuat mereka sulit fokus. Akibatnya, performa mereka anjlok, dan karir mereka menjadi rusak. Pemain terbaru yang menerima ‘beban' ini, adalah Paul Pogba, pemain termahal dunia 2016, milik Man. United. Pemain yang ‘dipulangkan' dari Juventus, dengan harga 89 juta pounds ini, kesulitan tampil konsisten, karena sorotan berlebih, yang diterimanya. Hasilnya, jumlah perubahan gaya rambutnya, justru lebih banyak, daripada jumlah gol atau assist, yang ia buat untuk United sejauh ini.
Harga tinggi seorang pesepakbola, adalah wujud pengakuan, dan harapan klub, atas kualitasnya. Bagi media, harga mahal, adalah alat evaluasi kinerja si pesepakbola. Sedangkan, bagi si pesepakbola, cap harga yang ia dapat, adalah sebuah tanggung jawab. Karena, semahal apapun harganya, ia tetap seorang pesepakbola, yang harus terus berlatih, dan tetap fokus pada pekerjaannya. Supaya, ia dapat memberikan yang terbaik, bagi dirinya sndiri, fans, dan tim yang dibelanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H