Ibadah yang seharusnya jadi momen privat dan menempatkan semua orang yang terlibat dalam posisi setara, malah menghadirkan sekat, hanya karena perilaku ganjil akibat antusiasme lepas kendali. Padahal, Natal adalah momen ketika Tuhan "mengosongkan diri" menjadi manusia.
Perilaku ganjil lain, yang muncul di hari Natal adalah, normalisasi pada kebiasaan datang beribadah di gereja, hanya di hari raya, dalam hal ini Natal dan Paskah.
Sebenarnya, perilaku seperti ini sudah lama ada. Di kalangan warga gereja, sampai muncul anekdot, yang menyamakan mereka dengan agen intelijen atau kapal selam, yang memang jarang terdeteksi.
Bisa jadi, mereka memang supersibuk, jadi hanya sempat datang di kesempatan tertentu. Tapi, soal frekuensi seperti ini belakangan bersifat relatif, karena sejak pandemi, sudah ada banyak gereja yang menyediakan medium ibadah live streaming.
Jadi, memang ada ruang bagi mereka yang tidak sempat datang langsung ke gereja. Inilah satu sisi adaptif, yang akhirnya dapat diterapkan di gereja secara lancar. Di sini, teknologi internet telah menghadirkan ruang publik yang dapat bebas diakses secara personal.
Di sisi lain, anomali dan perilaku ganjil khas hari Natal di gereja ini, menjadi satu situasi yang asing dan cukup rawan bagi kesehatan mental, baik dalam jangka panjang maupun pendek. Karena itulah, saya tidak pernah berangkat ke gereja di hari Natal, kecuali jika hari Natal itu jatuh di hari minggu.
Ketika Natal di gereja malah menghadirkan suasana asing, ini adalah suatu situasi yang, jujur saja, sangat tidak nyaman, khususnya bagi mereka, yang memang hanya ingin datang beribadah, terlepas dari apapun profesi, status dan kondisinya.
Jika suasana nyaman dan sifat inklusif itu bisa rutin hadir dengan kalem dan nyaman di gereja pada hari minggu biasa, kenapa tidak (atau mungkin masih belum) demikian juga hari Natal?
Selamat Natal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H