Dalam beberapa hari terakhir, "para-para" menjadi satu kata yang viral di media sosial. Penyebabnya, kata satu ini terucap dalam pidato sambutan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dalam acara Konferensi Besar (Konbes) Fatayat Nahdlatul Ulama (NU) di Hotel Aryaduta, Menteng, Jakarta, pada Jumat (13/12/24).
Penggunaan kata "para-para" pada momen ini, merupakan satu contoh terapan, terkait bentuk penggunaan kosakata bahasa Indonesia yang kurang tepat, karena "para" sendiri merupakan kata jamak. Kata satu ini biasa digunakan pada kalimat dengan objek jamak.
Tanpa perlu diulang, sebuah objek yang diawali kata "para" sudah otomatis menjadi objek jamak. Contohnya, "para guru", "para siswa", dan sebagainya.
Terlepas dari kesalahan linguistik sang wakil presiden, mungkin ini adalah satu kesempatan menarik, untuk sedikit belajar memahami kosakata baku bahasa Indonesia di kamus. Kebetulan, bahasa Indonesia adalah satu identitas dasar orang Indonesia,
Ternyata, kata "para-para" (bukan pura-pura) memang ada dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Jadi, ini merupakan satu kata baku dalam bahasa Indonesia.
Meski kurang umum digunakan, kata "para-para" ternyata mempunyai tiga arti berbeda. Perbedaan ini merujuk pada fungsi alat tertentu, konteks, wilayah maupun masyarakatnya.
Dalam KBBI daring, kata para-para merujuk pada anyaman bambu dan sebagainya; tempat menaruh perkakas dapur. Jadi, para-para di sini adalah sebuah peralatan dapur.
Fungsi para-para sebagai tempat menaruh perkakas dapur, biasa ditemui pada jenis dapur gaya tradisional di wilayah pedesaan, yang masih memakai tungku dan perapian kayu bakar. Pada konteks dapur era kekinian, fungsi para-para kurang lebih sama dengan rak piring dan gelas, rak bumbu dapur, atau lemari penyimpanan.
Pada konteks masyarakat wilayah pesisir pantai, KBBI daring menyebut, para-para merupakan sebutan pada rak untuk menjemur atau menyimpan ikan. Menjemur ikan sendiri merupakan satu tahapan, dalam proses pembuatan ikan asin.
Salah satu wilayah di Indonesia, yang masih menggunakan para-para secara tradisional adalah Tanjung Binga. Wilayah di Kecamatan Sijuk ini merupakan kampung penghasil ikan asin terbesar di Kabupaten Belitung, yang belakangan dikembangkan Kemenpar menjadi satu destinasi wisata berkonsep desa wisata di Provinsi Bangka Belitung.