"Berhentilah, atau aku akan menghentikanmu."
Itulah peringatan keras yang diberikan tubuh ini, ketika serangan burnout mencapai tahap berikutnya. Tanpa basa-basi, mimisan terjadi dalam rentang satu-dua hari.Â
Dia benar. Diri ini kadang terlalu nnai. Masih  memberi perhatian, saat seharusnya sudah berhenti, bahkan masih mendengar saat seharusnya gantian didengar.
Tapi, tidak ada yang bisa diharapkan, dari orang yang selalu ingin didengar dan memegang kendali. Atas nama rasa sakit, mereka terlanjur  biasa melihat kata "tidak" sebagai satu kejahatan.
Ketika ada celah berinteraksi di dunia maya, apalagi secara langsung, mereka biasa meluapkan semua "overthinking" di kepala, untuk hal-hal yang sebenarnya tidak perlu. Ini membuat orang lain terlihat bodoh.
Sekalipun sudah kenal lama dan bisa mengikuti alur berpikirnya, ini sangat melelahkan. Sebesar apapun energimu, setulus apapun niatmu, mereka akan semakin menguras semuanya. Kalau bisa, mereka juga akan coba mendikte dalam segala hal.Â
Setiap mereka bersikap keterlaluan, hanya inilah yang bisa mereka katakan.Â
"Tolong maklumi kami, karena kami masih belajar memperbaiki."
Inilah wajah termanis yang bisa mereka pasang. Tapi tidak pernah ada perbaikan. Semuanya sama lagi, terus seperti itu, entah sampai kapan.Â
Tubuh renta ini akhirnya bertemu dengan jiwa yang kelelahan, dikuras habis ego tanpa batas dari mereka yang tak kenal timbal balik. Tak ada lagi tenaga untuk marah, ketika tubuh ini dipaksa harus jeda sebelum tumbang dengan lebih parah.
Rasa tak berdaya ini semakin sempurna, karena tak ada satupun yang bisa diajak bicara. Semua sibuk dengan dunia masing-masing, dan tak punya waktu.Â
Rasanya hancur, tapi belum pernah sehancur ini secara fisik. Padahal, tak ada kerja rodi atau romusha di sini.
Jujur saja, rasa sakit ini membawa juga sebuah pesan, yang dinyatakan tanpa basa-basi.
"Mereka tak ingin menderita sendirian, tapi saat kamu sudah dibuat menderita, mereka akan meninggalkanmu sendirian, dengan wajah sepolos mungkin."
Andai tubuh ini masih punya cukup tenaga  untuk marah, ingin rasanya meminjam kata-kata Cinta, saat akhirnya bisa marah ke Rangga,
"Apa yang kamu lakukan itu...jahat!"
Ketika reaksi tubuh ini akhirnya menggantikan kata-kata untuk marah, rasanya cukup menyakitkan. Darah keluar tanpa diminta, tapi membawa serta nafas yang lega.
Ia seperti berusaha membuang racun, seperti yang sudah seharusnya dilakukan selama ini. Tanpa basa-basi, tubuh renta ini seperti mau bilang,Â
"Membina hubungan baik, bahkan sampai bertahun-tahun itu bagus, tapi kalau di baliknya ada yang tidak sehat, inilah satu akibatnya, dan itu harus dibuang."
Dalam segala kekurangannya, tubuh ini tetap mampu menghadirkan sedikit sikap tegas, pada orang yang mengusir pasukan semut saja kalau perlu dilakukan, tanpa harus membunuh seekor pun.
Ini memang tidak nyaman, tapi ketika semua boleh berlalu, semoga bisa lebih segar, lebih tenang. Membina hubungan baik bukan berarti harus tahu dan terlibat dalam segala hal.
Ada ruang yang tetap tidak boleh dimasuki terlalu dalam, karena kita tidak pernah tahu, efek negatif apa yang datang, dan jika terjadi sesuatu karenanya, tak ada seorang pun yang bisa dimintai tolong.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H