Pada prosesnya, Panggabean (2011) memaparkan, selama hampir 2 abad sejak tahun 1696, kopi Arabika menjadi satu-satunya varietas kopi yang dibudidayakan dan diperdagangkan di Nusantara sebagai komoditas unggulan.
Dominasi itu berakhir, ketika wabah penyakit karat daun (hemileia vastatrix) merebak tahun 1876, membuat produksi kopi Arabika turun drastis. Sebagai gantinya, pemerintah kolonial Belanda mendatangkan kopi Liberica dari Liberia (Afrika), yang juga nyaris ludes dihantam wabah karat daun pada tahun 1890.
Tak patah arang, pemerintah kolonial Belanda lalu kembali beralih ke varietas kopi lain, dengan mendatangkan kopi Robusta dari Kongo (Afrika) yang pada masa itu merupakan wilayah koloni Belgia.
Pada akhirnya, setelah diteliti dan dinyatakan bebas penyakit karat daun, kopi Robusta ditetapkan sebagai kopi komoditas utama pada tahun 1907. Dari sinilah, kopi Robusta berkembang pesat dan menjadi varietas kopi terbesar di Indonesia hingga sekarang.
Van Noordwijk et.al (2021) mencatat, fenomena penyakit karat daun pada kopi Arabika juga pernah terjadi di Brasil dan wilayah Amerika Selatan pada tahun 1970, tapi berkat teknologi pertanian yang sudah lebih maju, dampaknya tak sampai sedrastis di Nusantara.
Faktor inilah yang membuat posisi kopi Arabika sebagai jenis kopi yang diproduksi terbanyak secara global, dengan  persentase hampir 70%, tetap terjaga.
Di Indonesia, tepatnya sejak tahun 1876, kopi Arabika menjadi satu varietas kopi yang cukup rentan terhadap penyakit atau hama, dan hanya bisa tumbuh di dataran tinggi. Kerentanan ini belakangan semakin lengkap, karena adanya fenomena El Nino dan La Nina, yang menghasilkan suhu ekstrem.
Akibat kompleksitas lingkungan dan kondisi rentan inilah, harga kopi Arabika cenderung lebih mahal dari Robusta. Meski begitu, kopi Arabika tetap menghadirkan karakter khas yang kompleks, sepadan dengan harganya.
Mempunyai rasa khas pahit cenderung masam, kopi Arabika di Indonesia lalu berkembang menjadi "specialty coffee", dengan setiap daerah produsen kopi Arabika punya karakter rasa khas.
Kopi dari pulau Sumatera misalnya, identik perpaduan dengan rasa masam, pahit dan aroma rempah. Ada juga kopi Arabika Kintamani dari Bali, dan Flores (Nusa Tenggara Timur) yang cenderung "fruity". Di Jawa, ada kopi Priangan yang punya aroma harum.
Dengan demikian, meski bukan lagi komoditas kopi terbanyak seperti dulu, kopi Arabika di Indonesia tetap menjadi sesuatu yang unik. Berbagai dinamika perubahan (dari era kolonial sampai kekinian) tidak membuatnya lenyap, tapi mengubahnya menjadi sesuatu yang istimewa.