Di era kekinian, khususnya di Indonesia, keberadaan komik digital menjadi satu fenomena umum. Berkat kepraktisannya, membeli dan menyimpan koleksi komik tak lagi serepot memiliki buku versi cetak.Â
Tak perlu lagi repot membeli rak buku atau merawat buku, komik digital bisa tetap awet berada dalam kondisi terbaik, selama ruang penyimpanan di perangkat kita cukup.Â
Untuk membacanya, kita cukup membuka berkas di perangkat. Kapan saja, di mana saja, semua bisa dilakukan dan ada dalam genggaman.
Berkat kemajuan teknologi juga, harga satu set seri komik digital relatif jauh lebih murah dari versi cetak. Alhasil, komik fisik pelan-pelan menjelma jadi barang antik, yang tentu saja punya segmen pasar khusus.
Meski terkesan kuno, buku komik versi cetak sebenarnya adalah satu medium unik. Ia tidak hanya "merekam" cerita dalam urutan gambar dan balon dialog, tapi juga ikut mendokumentasikan tren atau situasi yang terjadi, khususnya saat buku komik itu dicetak.
Sebagai contoh, pada foto di atas, penulis memotret tampilan cover belakang empat judul komik berbeda, yakni Kung Fu Boy (Manga Jepang), Mundinglaya (Indonesia), Full House, dan Goong (Manhwa Korea Selatan, yang belakangan diadaptasi menjadi drakor Full House dan Princess Hours, yang populer di era 2000-an).
Saya masih ingat, keempat komik ini datang dalam kondisi berbeda. Ada yang dibeli dalam kondisi baru, dan ada juga yang dibeli dalam kondisi bekas, masing-masing dibeli pada era 2000-an dan 2010-an. Uniknya, dari label harga pada keempat buku ini, ada satu jejak "rekaman perjalanan" harga buku komik di Indonesia, dari masa ke masa.Â
Pada buku komik Kung Fu Boy, yang dicetak pada awal tahun 1990-an, label harga yang tertera pada bagian belakang menunjukkan angka 3.000 rupiah. Harga itu lalu berubah menjadi 8.500 rupiah pada awal tahun 2000-an, seperti yang tertera pada label harga di komik Mundinglaya.