Judul di atas adalah satu pesan yang tersirat, dari hasil imbang 2-2 antara tuan rumah Bahrain versus Indonesia, dalam lanjutan Kualifikasi Piala Dunia 2026 zona Asia, Kamis, (10/10).
Secara permainan, Tim asuhan Shin Tae-yong sebenarnya sudah cukup efektif, karena mampu mencetak dua gol. Meski baru bisa membuat peluang pertama di akhir babak pertama lewat tendangan Ragnar Oratmangoen, peluang itu langsung menjadi gol
Di babak kedua. Indonesia bahkan mampu mencetak gol lagi lewat aksi Rafael Struick, dan hampir saja mengunci kemenangan, andai tak kebobolan di menit akhir, tepat sebelum wasit meniup peluit panjang.
Dengan posisi sebagai tim dengan peringkat FIFA terendah di grup, dan menjalani partai tandang, ini adalah satu hasil yang cukup lumayan. Selain menjaga catatan belum pernah kalah, setidaknya ada tambahan poin yang membuat peringkat FIFA Indonesia kembali naik.
Masalahnya, hasil imbang di Bahrain juga menunjukkan, inilah wujud tingkat kesulitan di level Asia. Celakanya, kesulitan ini langsung menciptakan kombinasi masalah teknis dan nonteknis.
Secara teknis, meski Jay Idzes dkk tampil solid, situasi bola mati masih jadi titik rawan. Gol-gol Mohamed Marhoon, yang masing-masing berawal dari situasi tendangan bebas dan sepak pojok membuktikan itu.
Jika tak segera diperbaiki, titik lemah ini bisa menjadi sasaran empuk di pertandingan berikutnya. Jangan lupa, Timnas Indonesia belum bertemu Jepang, juga masih akan menghadapi Arab Saudi dan Australia sekali lagi.
Diluar urusan teknis, urusan nonteknis juga menjadi catatan. Di Bahrain, Tim Garuda memang bermain dengan rencana strategi yang cukup rapi, dan rencana itu cukup berhasil karena kondisi lapangan cukup oke.
Masalahnya, di level Asia, sebuah partai tandang sering menciptakan situasi bak "mission impossible" bagi tim tamu. Maklum, selain karena faktor tekanan suporter tuan rumah, ada kebiasaan kurang bagus dari wasit, untuk memberi previlese perlakuan khusus kepada tim tuan rumah.