Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jokowi, Refleksi Sebuah Ironi

24 September 2024   23:27 Diperbarui: 24 September 2024   23:28 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Jokowi adalah kita"

Itulah satu jargon kampanye Pemilu 2014 yang cukup melekat di pikiran masyarakat Indonesia, dan turut mengantarkan seorang Joko Widodo ke tampuk kekuasaan selama dua periode.

Dengan latar belakangnya sebagai "orang biasa", bukan petinggi atau ketua umum partai, eks Walikota Solo ini terlihat seperti "buah" proses reformasi, yang sudah dirintis sejak 1998.

Dari sosoknya sebagai "orang biasa" dengan gaya cenderung "biasa saja", Jokowi seperti menawarkan "ketenangan" yang tak kehilangan kekuatan dan ketegasan saat dibutuhkan.

Sebuah sisi spiritual khas seorang pemimpin, yang memang terlihat sekilas dalam sosoknya, yang kebetulan juga bukan tipikal pemimpin "hobi tampil" secara berlebihan.

Dari seorang Jokowi juga, kita melihat bersama, seberapa berat bobot sisi spiritual jabatan tinggi seperti presiden. Sebagai sebuah "pulung", "karomah", atau apapun sebutannya, dibutuhkan orang yang cukup siap dan "kuat", baik secara jasmani dan rohani, untuk menerima tugas jabatan ini dengan selamat sampai akhir.

Tapi, selain kekuatannya yang istimewa, sebuah jabatan tinggi biasa membawa serta kilau godaan yang rawan menyilaukan. Sekalipun sudah punya sisi spiritual sangat kuat, godaan yang datang kadang masih lebih kuat, sehingga bisa menggoyahkan.

Jadi, tidak mengejutkan kalau setelah periode pertama yang relatif "kalem", periode kedua Jokowi terasa begitu gaduh. Di sini, kegaduhan itu sekaligus menyiratkan situasi goyah.

Diluar pandemi yang memang jadi masalah global, gaya komunikasi kebijakan publik yang kurang efektif, dan berbagai manuver politik yang dilakukan, telah membuat situasi goyah itu merembet kemana-mana.

Tidak ada lagi ketenangan dan jalan "lempeng" seperti yang sebelumnya ditampilkan, karena mata yang sudah silau  menjadi pembuka jalan datangnya kejanggalan demi kejanggalan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun