Pada era kekinian, iklan lowongan kerja bertebaran bak kacang goreng di berbagai aplikasi. Saking banyaknya pilihan, kadang kemudahan ini malah menyulitkan.
Celakanya, kesulitan ini makin lengkap, karena syarat kriterianya begitu rumit. Dari batas usia, pendidikan, tinggi badan, pengalaman kerja, sampai kemampuan yang (kalau bisa) serba bisa dan serbaguna, situasinya jadi absurd.
Ini mencari tenaga kerja manusia atau makhluk halus?
Ini baru pada kandidat yang sehat dan normal secara fisik, karena difabel sering lebih dulu kena filter syarat "sehat jasmani dan rohani".
Dengan syarat serumit itu, iklan lowongan kerja lebih mirip syarat sesajen atau sejenisnya.
Belakangan, kredibilitas situs lowongan kerja juga semakin rusak, karena iklan yang dipasang biasa muncul dan hilang semaunya.
Tidak ada kejelasan atau kepastian, tapi ironisnya, para pemberi kerja malah menuntut kandidat dengan kepastian, dan akan merasa paling tersakiti kalau ada yang menolak atau hanya bertahan sebentar.
Dengan perilaku seperti ini, wajar kalau iklan lowongan kerja kadang terlihat seperti informasi bohong, dengan "ghosting" sebagai perilaku umum. Itu belum termasuk budaya rekrutmen jalur orang dalam.
Kerusakan kredibilitas itu juga semakin parah, karena iklan lowongan kerja palsu juga bermunculan, dalam modus penipuan lowongan kerja. Syaratnya sepintas tidak rumit, tawaran gaji besar, tapi kerumitan tetap akan menjerat setelahnya.
Pada titik ekstrem, ini bahkan menjadi pintu masuk kejahatan "human trafficking", seperti yang pernah terjadi pada WNI di Myanmar dan Kamboja beberapa waktu lalu.