Dengan modus kesempatan kerja di luar negeri, mereka pada akhirnya malah dipaksa menjadi "scammer", dan sempat tak bisa pulang.
Ada juga perusahaan nakal yang mendapat info kontak kita, dan secara tiba-tiba menawari pekerjaan, padahal kita tidak mengirim berkas lowongan apapun ke sana. Tahu ada lowongan saja tidak.
Untuk kasus ini, saya pernah dua kali mengalami pada masa pandemi, 3-4 tahun silam. Secara tiba-tiba, ada dua perusahaan mengontak saya dan menawari pekerjaan.
Satu perusahaan, yang beralamat di Thailand, menawari pekerjaan sebagai tenaga administrasi perusahaan, tapi tidak pernah saya respon, karena waktu itu memang sedang ada larangan bepergian ke luar negeri akibat pandemi.
Belakangan, setelah kasus "scammer" terkuak, saya mendapati bahwa lowongan kerja yang saya diamkan itu penipuan.
Salah satu modusnya, kandidat ditawari kerja di Thailand, tapi sesampainya di sana, akan dikirim ke wilayah negara tetangga, seperti Kamboja atau Vietnam.
Pada kasus kedua, saya tiba-tiba ditelepon sebuah perusahaan pialang berjangka komoditi di Jakarta. Tapi setelah saya cek, ternyata itu perusahaan investasi bodong, dan saya pun tak menggubrisnya.
Tingkat kecurigaan saya waktu itu makin kuat, karena saat ditelepon pertama kali, mereka sudah langsung bertanya, apakah saya bisa langsung bekerja besok atau tidak.
Di sini, satu tanda "red flag" sudah terlihat: tingkat pergantian karyawan mereka lumayan tinggi, dan itu rawan menciptakan lingkungan kerja tidak sehat.
Berangkat dari dua pengalaman ini, plus sejumlah pengalaman kena ghosting dan kena filter syarat "sehat jasmani rohani", saya (dan mungkin banyak orang lain di sekitar) pada akhirnya malah dipaksa melihat sebuah ironi.
Iklan lowongan kerja di era digital memang banyak, tapi menjadi absurd karena syaratnya kadang terlalu "sempurna". Sebaliknya, ketika syaratnya mudah, itu rawan jadi pintu masuk penipuan dan tindak kejahatan lain.