Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Kopi, Cerita Sebuah Proses

20 September 2024   08:01 Diperbarui: 20 September 2024   08:06 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Instagram.com/@onnywiranda via Kumparan.com)

Di era kekinian, kopi menjadi satu bagian penting yang terkadang sulit dipisahkan dari keseharian seseorang. Bagi saya sendiri, kopi ibarat "pemain nomor punggung 10", terutama saat sedang menjalani proses menulis. 

Memang, ide menulis bisa datang kapan dan dimana saja, termasuk di situasi absurd seperti saat sedang sakit perut, bengong, atau tidur siang. Pemantiknya pun kadang bisa datang semau gue, entah lewat objek "random" yang tak sengaja dijumpai di jalan, sampai pesan khotbah di gereja, yang pada titik tertentu masuk ranah "serius".

Tapi, sejauh proses yang sudah saya jalani selama beberapa tahun terakhir, selain kesehatan, kopi menjadi bagian penting yang secara konsisten selalu berkontribusi. Ibarat pemain nomor punggung 10, kopi selalu memberi saya "faktor x" yang mampu menyalakan "lampu bohlam" dalam kepala.

Sejak pertama kali diperbolehkan "ngopi" saat masuk SMP, sesuai arahan Opa dulu, perjalanan saya terbilang cukup runtut, karena dimulai dari jenis kopi paling banyak di pasaran, yakni kopi sachet plus gula. 

Dalam konteks budaya di masyarakat Indonesia, ini adalah satu fenomena umum, seperti halnya minum teh, otomatis  dicampur gula. 

Seiring berjalannya waktu saya bergeser lagi ke kopi murni tanpa gula. Satu hal yang selama bertahun-tahun setelahnya jadi kebiasaan. Berkat kebiasaan ini, saya bisa sedikit belajar mengenali karakteristik rasa kopi, termasuk sensasi "after taste" yang muncul. 

Secara pribadi, saya sudah menutup pintu selamanya pada kopi sachet, tapi, saya masih sesekali membuka pintu pada es kopi kekinian, mau manis atau pahit, pokoknya siap diminum habis.

Pada titik tertentu, kebiasaan ini lalu jadi satu ciri khas yang paling dikenali lingkaran terdekat. Pernah satu kali, ada teman yang ingin membawakan oleh-oleh khas daerah asalnya, tapi karena tahu persis saya peminum kopi, dia lalu "menyelipkan" kopi sebagai pilihan. 

Situasi ini lalu terjadi lagi di sejumlah momen, yang tentu saja menjadi "jalan tengah" paling umum. Pemberi dan yang diberi sama-sama senang.

Pengalaman ini sedikit banyak memberi saya keberanian untuk mencoba kopi dari beragam daerah. Uniknya, disinilah saya menemukan, menjadi peminum kopi yang "moderat" ternyata butuh perjuangan.

Padahal, kopi, entah arabika, robusta, liberica atau apapun itu, sebenarnya setara. Mereka punya ciri dan keunikan masing-masing, selebihnya kembali ke daya beli, kemampuan menikmati rasa, dan selera kita. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun