Di era kekinian, mencari pekerjaan tetap maupun kontrak adalah satu hal yang semakin simpel. Tinggal akses situs atau aplikasi, buat akun, isi data dan input berkas, beres.
Tidak perlu lagi capek-capek melakukan perjalanan jauh atau antri lama, melamar kerja sudah bisa dilakukan lewat bantuan teknologi internet. Selebihnya, tinggal ditunggu panggilan selanjutnya.
Masalahnya, dibalik kemudahan itu, ada titik rawan. Terlalu banyak pelamar membuat kemampuan perusahaan merespon jadi sangat buruk. Bisa jadi, inilah satu alasan, mengapa syarat lowongan kerja kadang tak kalah rumit dengan syarat ritual sesajen.
Atau, bisa juga ini hanya satu cara mengumpulkan data kandidat sebanyak mungkin. Tapi kandidat yang diterima malah datang dari referensi orang dalam, tanpa mendaftar sebelumnya. Sebuah fenomena yang "Indonesia banget".
Dalam posisinya sebagai pemberi lowongan kerja, sebenarnya strategi mengumpulkan data ini normal. Apalagi, dengan makin tingginya tingkat pergantian karyawan, khususnya setelah sistem kontrak kerja jangka pendek membudaya.
Di sini, perusahaan jelas perlu gerak cepat dan memastikan pergantian pegawai lancar. Tapi, tidak adanya tindak lanjut atas iklan lowongan kerja di internet justru rawan membuat iklan lowongan kerja palsu atau penipuan dalam modus terkait muncul.
Sudah banyak korban yang muncul di sini, dan jika data kandidat bocor ke pihak yang tidak bertanggung jawab, potensi kerugian bisa lebih rumit. Ini bukan soal nominal saja, tapi dampak gangguan lain yang bisa muncul.
Dalam banyak kasus, khususnya di platform aplikasi atau situs lowongan kerja, iklan lowongan yang ada sering ditutup mendadak.
Mereka yang mendaftar juga kadang tidak diberi tahu, apakah ditolak atau tidak. Apa boleh buat, tidak ada ruang untuk bertanya lebih jauh.
Sudah kena ghosting, lowongan pun hilang. Sudah begitu, kadang muncul iklan lowongan kerja duplikat, dengan posisi dan syarat sama persis. Seperti dikerjai saja.