Judul di atas mungkin terdengar frontal, tapi masih menjadi satu realitas, terutama pada momen traumatis, atau minimal pahit. Misalnya pada momen waktu kena "bully" di masa lalu, antara lain karena kekurangan fisik.
Untuk pengalaman kena "bully" akibat kekurangan fisik, saya sendiri pernah mengalaminya semasa remaja, dalam waktu cukup lama. Karena frekuensinya juga cukup sering, ada luka psikologis yang butuh waktu untuk diobati.
Berhubung saya juga menghadapi proses "mengobati luka" itu (setidaknya sebagian) seorang diri, pada prosesnya, saya menyadari, memaafkan dan melupakan itu dua alam berbeda.
Soal memaafkan, itu bisa dilakukan, bahkan tanpa harus menunggu si pelaku minta maaf. Apalagi, kalau pihak pelaku merasa apa yang dilakukannya bukan satu kesalahan, bahkan tanpa malu ikut memposisikan diri sebagai "korban"
Tidak ada pilihan lain. Apa yang sudah terjadi tidak bisa diputar ulang, dihindari, apalagi dihapus.
Jadi, kata "maaf" adalah satu solusi sederhana. Meski tidak langsung menghapus luka, minimal rantai momen kena "bully" bisa diputus barang sesaat. Biasanya, kesempatan ini datang, pada momen kritis seperti saat menjelang ujian kelulusan.
Setidaknya, baik "pelaku" atau "korban" bisa saling berbuat baik. Yang satu boleh "bertobat", dan yang lain bisa belajar merelakan.
Walaupun sebenarnya agak menyakitkan, rasa lega yang datang setelahnya jauh lebih menyembuhkan, karena tak ada lagi penyesalan di lain waktu. Dengan memaafkan para "pelaku", hilang juga pijakan dan alasan mereka berulah seperti sebelumnya.
Sementara itu, melupakan rasa sakit dan  luka psikologis sebenarnya muskil. Ingatan pahit yang ada akan selalu sepaket dengan ingatan manis di tempat dan periode yang sama.
Luka dan rasa sakit seperti itu biasa meninggalkan trauma dan "bekas luka". Pada gilirannya, ini akan membentuk sikap  dan respon atas situasi serupa, jika kembali terjadi.