Judul di atas mungkin terdengar sarkastik, tapi itulah yang jadi gambaran kiprah kontingen Indonesia di Olimpiade 2024. Meski membawa total 29 atlet lintas cabang olahraga, yang merupakan jumlah terbanyak sejak Olimpiade 2004 (38 atlet) kiprah kontingen Indonesia di Paris benar-benar loyo.
Jangankan meraih medali emas, meraih medali perunggu saja masih kesulitan. Kesan loyo itu makin terasa, karena ketika memasuki bulan Agustus, Indonesia tinggal berpeluang mengejar medali di cabor panahan, renang, dan bulutamgkis.
Ngerinya, peluang meraih medali terlihat tipis, karena jumlah atlet yang bertanding di babak lanjut tinggal sedikit. Kontingen yang awalnya sudah "tipis" pun jadi semakin tipis
Dari bulutamgkis, cabor "andalan" yang biasa mendulang medali emas Olimpiade, hanya tersisa Gregoria Mariska Tunjung di kategori tunggal putri, yang masih bertanding di awal bulan Agustus.
Harapan meraih medali pun terbuka, karena Jorji lolos ke semifinal usai mengalahkan Ratchanok Intanon (Thailand) dalam dua set langsung, 25-23 dan 21-9, Sabtu (3/8).
Cabor lain, yakni panahan, juga mengirim satu wakil ke perempatfinal, yakni Diananda Choirunisa, yang sayangnya kalah dramatis 5-6 dari Lisa Barbelin (Prancis).
Kiprah wakil Indonesia di cabor atletik harus terhenti lebih awal, setelah Lalu Muhammad Zohri gagal melaju lebih jauh.
Praktis, selain bulutamgkis kategori tunggal putri, harapan meraih medali dari kontingen Indonesia tinggal tersisa pada cabor balap sepeda, angkat besi dan panjat tebing, yang masih belum bertanding. Tapi, secara realistis, peluang meraih medali ada pada panjat tebing dan angkat besi, yang cukup konsisten mencetak prestasi.
Harapan meraih medali menjadi satu penyemangat yang bagus, tiap kali ajang seperti Olimpiade berjalan. Tapi, selalu ada titik pesimis di balik sinar terang optimisme, termasuk kemungkinan pahit gagal meraih medali.
Andai Indonesia gagal meraih medali (sekalipun itu "hanya" perunggu) di Olimpiade Paris 2024, ini adalah satu konsekuensi yang harus diterima.