Seiring mencuatnya perhatian pada isu perubahan iklim, ada banyak wacana soal pencegahan maupun adaptasi terhadap isu tersebut. Salah satu wujudnya adalah transisi energi.
Seperti diketahui, penggunaan energi dari bahan bakar berbahan dasar fosil telah banyak menghadirkan dampak negatif, akibat polusi yang dihasilkan. Maka, wajar jika transisi energi menuju energi terbarukan menjadi satu kebutuhan mendesak.
Di negara maju, transisi energi sudah menjadi satu hal biasa, bahkan membudaya, karena dibangun lewat proses panjang, diwujudkan, dan terus dikembangkan dari waktu ke waktu.
Jadi, wajar kalau masyarakat di negara maju cenderung lebih suka menggunakan moda transportasi publik, bersepeda atau berjalan kaki di dalam kota.
Ada juga kebiasaan memilah, mengolah, dan mendaur ulang sampah, yang sudah membudaya. Dalam perjalanannya, budaya mengolah sampah ini juga menghasilkan produk daur ulang yang lebih ramah lingkungan.
Satu hal kunci lain yang membuat budaya ramah lingkungan ini bisa terwujud adalah sinergi antarpihak terkait, termasuk pemberdayaan kaum perempuan.
Dengan turut melibatkan kaum hawa sebagai garda depan sejak di level keluarga, ada pondasi solid, dalam mewujudkan transisi energi, yang dimulai dari membangun budaya di level keluarga, yang notabene merupakan lingkup paling dasar sekaligus paling kecil di masyarakat.
Kalau di level paling dasarnya memang sudah solid, ini bisa menjadi bekal penting di level lebih tinggi, termasuk level makro, apalagi global. Sebaliknya, kalau di level dasarnya saja masih berantakan, sebesar dan sebagus apapun idenya, itu hampir pasti berantakan, atau minimal sulit terwujud.
Di Indonesia, yang secara budaya masih cenderung patriarki, khususnya di sejumlah daerah, pemberdayaan perempuan, termasuk untuk isu krusial seperti transisi energi masih menjadi satu PR besar.
Maklum, ruang partisipasi lebih luas untuk perempuan masih belum sepenuhnya terbuka. Meski sudah lama menyuarakan emansipasi, ini belum sepenuhnya leluasa diterapkan, apalagi membudaya.