Tak ada lagi pelatih top yang dengan yakin mau melatih di sana, karena secara proyek olahraga, mereka benar-benar kacau. Tak ada lagi kepercayaan diri yang membuat klub kesayangan Manchunian berani mendekati pelatih top atau pemain bintang kelas satu.
Saking kacaunya, pelatih dengan pengalaman pernah juara Liga Champions seperti Louis Van Gaal dan Jose Mourinho terlihat seperti pelatih amatir. Begitu juga dengan Erik Ten Hag, yang pernah membawa Ajax Amsterdam ke semifinal Liga Champions.
Banyak transfer flop, ruang ganti bermasalah, dan masih ada ekspektasi tinggi tapi serba serampangan. Tim ini bahkan baru berencana menata ulang rencana tim, sejak Sir Jim Ratcliffe masuk.
Diluar urusan tim yang kacau, ide mengganti pelatih semakin masuk akal, karena pelatih yang cenderung "demanding" seperti Erik Ten Hag pada akhirnya membuat klub harus mulai memperhatikan neraca keuangan.
Meski secara profit masih besar, ketatnya pengawasan kinerja neraca keuangan klub di Liga Inggris belakangan ini jelas membuat keberadaan Ten Hag tidak lagi relevan. Sudah begitu, pelatih asal Belanda ini juga seperti tidak punya Rencana B.
Setelah finis di posisi tiga besar Liga Inggris musim lalu, The Red Devils seperti kelimpungan saat Lisandro Martinez dibekap cedera panjang dan Raphael Varane sering cedera kambuhan. Dengan inkonsistensi yang cukup konsisten, ditambah dana ratusan juta pounds yang lebih banyak menghasilkan transfer flop, perubahan memang perlu disegerakan.
Tapi, sepanjang rencana perubahan itu tidak diikuti dengan penyesuaian ekspektasi, rasanya manuver gerilya MU di bawah Sir Jim Ratcliffe akan menciptakan cerita yang sama: gagal dan gagal lagi.
Di sisi lain, dengan inkonsistensi sedemikian parah, memang sudah waktunya Manchester United dan Manchunian menata ulang semuanya dengan sudut pandang realistis.
Dengan banyaknya transfer flop, inkonsistensi dan gesekan dalam tim, sudah saatnya bayangan soal era sukses Sir Alex Ferguson dilupakan. Selama tim ini masih belum bisa move on, selama itu juga inkonsistensi masih jadi penyakit.
Masa lalu yang cemerlang memang keren, tapi ia ada bukan untuk dihidupi. Apa yang sudah berlalu hanya akan hidup dalam bayangan, dan tak bisa lagi kembali hidup, karena yang masih benar-benar hidup hanya realitas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H