Catatan kekalahan The Albion sedikit diimbangi dengan kemenangan 3-1 atas Manchester United dan Newcastle United, hasil imbang 2-2 saat bertemu Liverpool, dan menang 4-2 atas Tottenham Hotspur.
Uniknya, sebagian besar dari kekalahan ini datang, setelah lawan mampu memberi pukulan awal cukup keras, berupa gol cepat di awal babak pertama maupun kedua, atau mampu mencetak dua gol lebih dulu.
Dengan demikian, tim lawan bisa lebih nyaman mengontrol situasi, dan memberi pukulan mematikan lewat serangan balik cepat. Strategi ini memang klasik, tapi terbukti mampu mengekspos kelemahan Zerbismo di Brighton.
Situasi Brighton akhir-akhir ini sedikit banyak mengingatkan kita pada situasi Leeds United di bawah Marcelo Bielsa, antara tahun 2018-2022.
Seperti diketahui, di bawah pelatih asal Argentina itu, Leeds menampilkan sepak bola agresif dan mengalami kemajuan pesat. Puncaknya hadir ketika Si Putih secara beruntun mampu promosi ke kasta tertinggi Liga Inggris, dan finis di posisi sepuluh besar antara tahun 2019-2021.
Masalahnya, ketika strategi pelatih yang kini menangani Timnas Uruguay itu khatam dipelajari dan mampu diekspos habis lawan, Si Putih harus mati-matian menghindari jerat degradasi di musim 2021-2022, sebelum akhirnya terdegradasi di musim 2022-2023.
Secara level performa dan konsistensi, sebenarnya De Zerbi masih lebih baik dari Bielsa, tapi berhubung "kecepatan belajar" di sepak bola modern terbilang tinggi, perlu ada sedikit modifikasi secara kontinyu, supaya strategi yang digunakan tak jadi titik lemah. Kecuali, sang Italiano benar-benar akan pergi di musim panas nanti.
Menariknya, Zerbismo yang sejauh ini konsisten diandalkan Brighton secara jujur menunjukkan, di balik sebuah keindahan, kadang ada sebuah titik lemah, yang bisa membuatnya terlihat rapuh jika terekspos sempurna.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H