Judul di atas adalah satu pendapat yang muncul di pikiran saya, dan mungkin sebagian masyarakat di Indonesia, terkait kebijakan Pemilu serentak.
Bukan karena soal hasil akhir atau semacamnya, tapi lebih karena beban kerja terlalu berat yang ditanggung petugas pemilu. Saking beratnya, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin sampai menyebut, jam kerja petugas Pemilu 2024 seperti Kopassus, yang bekerja hingga 15-16 jam sehari.
KPU sendiri, dalam rilis resmi di sejumlah media nasional, Jumat (23/2) lalu menyebut, 90 orang meninggal dunia, terdiri dari 60 orang anggota KPPS dan 30 orang personel Linmas.
Sementara itu, data dari Kementerian Kesehatan per Sabtu (24/2) mencatat, ada total 114 petugas Pemilu meninggal dunia dan lebih dari 10 ribu petugas Pemilu yang harus dirawat di rumah sakit.
Catatan ini menjadi satu sisi horor yang berlanjut dari Pemilu serentak di Indonesia, yang sudah berlangsung sejak Pemilu 2019. Ketika itu, total 894 petugas Pemilu meninggal dunia, dan lebih dari 5 ribu lainnya harus dirawat di rumah sakit.
Secara proses, Pemilu serentak memang terlihat efisien, karena Pilpres dan Pileg bisa dijalankan dalam sehari. Sementara itu, Pilkada serentak akan digelar pada tanggal 27 November 2024 di seluruh Indonesia.
Dengan proses pelaksanaan secara serentak, potensi ketegangan dan konflik juga bisa (setidaknya) dikurangi karena masa kampanye dipastikan berlangsung lebih singkat. Tak ada juga Pilkada tiap tahun yang berlangsung sambung menyambung di tiap daerah.
Masalahnya, demi "efisiensi" dan pertimbangan stabilitas, beban kerja petugas jadi terlalu berat. Hampir tidak ada jeda, terutama pada saat-saat penting, seperti Kopassus saja.
Kopassus sendiri memang punya tugas khusus, yang berkaitan langsung dengan keamanan nasional. Kalau secara fisik saja kurang prima, bisa gawat. Banyak nyawa jadi taruhan.
Para petugas Pemilu jelas bukan Kopassus yang punya daya tahan fisik istimewa, hasil gemblengan keras TNI. Jadi, bukan kejutan kalau banyak yang ambruk akibat beban kerja terlalu berat.