Benar-benar sebuah penerapan sempurna dari "politik riang gembira", yang ironisnya malah hadir dari kandidat jalur independen alias nonpartai.
Ironi yang ada semakin sempurna, karena lewat kelucuannya sebagai pelawak, Komeng sudah menjadi sosok yang biasa hadir di keseharian masyarakat. Tidak seperti kebanyakan calon legislatif yang fotonya hanya muncul tiap kampanye Pemilu dan pencoblosan.
Meski lebih banyak hadir di layar kaca, lewat komedi, lulusan sarjana ekonomi kelahiran tahun 1970 ini terbukti mampu membangun citra positif secara natural.
Tanpa membuat orang lain terlihat "bodoh" dengan istilah keriting atau semacamnya, ia telah memperlihatkan satu sisi cerdas komedi, yang sering luput dari perhatian. Komedi adalah wujud sebuah kecerdasan, yang terkadang dikemas dalam tampilan "bodoh" di luar, tapi bisa menjadi media kritis bersifat konstruktif, karena bisa diterima segala kalangan.
Komedi berkualitas biasanya hadir dari sosok cerdas. Inilah yang sudah dibangun Komeng selama puluhan tahun di dunia hiburan, dan membantunya lolos ke Senayan.
Terlepas dari berbagai hiruk pikuk di masa Pemilu (termasuk Pilpres) kita patut berterima kasih pada Komeng, karena berkat dirinya, ada satu sisi "adem" di tengah panasnya suasana politik nasional.
Dari Komeng jugalah, para kandidat wakil rakyat dan calon presiden seharusnya bisa belajar, bagaimana membangun kedekatan secara alami dengan masyarakat lewat hal-hal positif. Prosesnya memang tidak instan, tapi bisa menjadi alasan kuat untuk membuat masyarakat mau memilih secara sukarela dan senang hati.
Semoga ada lebih banyak lagi peserta Pemilu yang punya "modal sosial" sebagus Komeng di masa depan, supaya politik uang, serangan fajar atau budaya sejenisnya bisa dikikis, dan diganti politik riang gembira, sehingga "politik riang gembira " tidak hanya menjadi satu "gimmick" istilah politik belaka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H