"Setiap masa ada waktunya, setiap waktu ada masanya".
Frasa di atas mungkin terdengar klasik dan retoris, tapi layak dikemukakan kembali, seiring keputusan Juergen Klopp hengkang dari Liverpool pada akhir musim 2023-2024. Keputusan ini diumumkan langsung oleh sang pelatih, dalam rilis resmi Liverpool, Jumat (26/1).
Meski hanya menyebut faktor "kelelahan mental" sebagai alasan utama, dan terkesan mendadak, keputusan pelatih asal Jerman ini cukup bisa dimengerti, karena persaingan yang ada cenderung tidak sehat.
Di saat klub-klub seperti Manchester City, Chelsea dan PSG leluasa belanja pemain dan mengakali celah aturan Financial Fair Play, Liverpool menjadi klub yang sangat menjaga kondisi keuangan, supaya tidak kena sanksi.
Memang, untuk ukuran klub peraih 6 gelar juara Liga Champions, Si Merah terlihat biasa saja. Tak ada ambisi menggebu untuk menyapu bersih semua trofi atau membangun tim bertabur bintang.
Sederhananya, bisa bersaing di papan atas saja sudah bagus, selebihnya bonus. Maka, ketika Klopp datang dan sukses mempersembahkan 7 trofi berbeda di Anfield, termasuk Liga Inggris dan Liga Champions, itu adalah sebuah sukses besar.
Selain karena lawan yang dihadapi punya fulus melimpah dan tim bertabur bintang, 7 trofi ini datang hanya dalam waktu 8 tahun, dan masih bisa bertambah lagi di tahun ke 9.
Seperti diketahui, setelah musim lalu gagal lolos ke Liga Champions, The Kop mengalami kebangkitan luar biasa di musim 2023-2024. Selain lolos ke final Carabao Cup, mereka juga masih bersaing di Piala FA, Liga Europa dan Liga Inggris.
Jelas, kinerja pelatih bukan sesuatu yang jadi masalah terkait rencana mundur Klopp. Dengan kondisi persaingan yang ada, memaksakan diri untuk lanjut bisa jadi kontraproduktif, karena semangat dan komitmen yang ada tak lagi maksimal. Â
Di Liga Inggris, kasus ini pernah terjadi di Arsenal, ketika Arsene Wenger berkuasa selama 22 tahun (1996-2018).