Judul di atas adalah satu pendapat saya, setelah melihat performa Timnas Indonesia, sejak fase persiapan Piala Asia 2023, yakni melawan Libya (dua kali) dan Iran, plus takluk 1-3 di laga perdana fase grup Piala Asia 2023 melawan Irak, Senin (15/1, malam WIB).
Dari empat laga tersebut, Marselino Ferdinan dkk empat kali kalah, mencetak dua gol dan kebobolan 14 gol. Untuk ukuran sebuah tim yang sudah lama absen di Piala Asia, performa ini sebenarnya cukup bisa dimengerti.
Apalagi, sebagian besar pemain yang didaftarkan bisa dibilang cukup minim pengalaman di tim nasional senior, apalagi di turnamen sekelas Piala Asia. Jelas, tidak banyak yang bisa diharapkan dari tim dengan "spek" seperti ini.
Tapi, seperti biasa, atas nama animo suporter dan mimpi, sebuah harapan pada akhirnya malah berbalik jadi beban berat. Padahal, ini adalah salah satu tim dengan peringkat FIFA dan rerata umur terendah di turnamen.
Akibat beban berat ini, tim yang baru mulai menapak level Asia jadi terlihat kesulitan. Jangankan mencetak gol, apalagi menang, bermain sebagai sebuah tim saja masih belum lancar.
Memang, ada progres dari segi peringkat FIFA dan performa, tapi semua itu jadi terlihat percuma, karena posisi 150 besar dunia ternyata tetap membuat Tim Garuda seperti pelanduk diantara gajah.
Meski sudah mampu lolos kualifikasi Piala Asia 2023, dan diperkuat beberapa pemain diaspora yang pernah atau sedang main di Eropa, perkembangan tim lain di Asia masih jadi gap yang harus dikejar.
Sebenarnya masalah ini terjadi di tim-tim Asia Tenggara secara umum, termasuk Thailand dan Vietnam yang dalam beberapa tahun terakhir biasa menjadi pesaing juara Piala AFF.
Ada gap kualitas yang masih cukup lebar saat menapak level Asia, dan gap ini masih belum sepenuhnya bisa terkejar, sekalipun sudah punya pemain diaspora yang berprofil Eropa.
Inilah kenyataan pahit yang terpaksa harus diterima, dan sekali lagi membuktikan, Piala AFF, SEA Games maupun kompetisi sejenis di level ASEAN tak banyak berguna di level Asia.