Seiring merosotnya performa Manchester United di musim 2023-2024, ditambah prestasi minor tersingkir di fase grup Liga Champions, gonjang-ganjing pun mulai muncul di Old Trafford.
Segera setelah United kalah 0-1 dari Bayern Munich, Rabu (13/12, dinihari WIB) lalu, spekulasi seputar masa depan Erik Ten Hag pun bergulir. Meski masih punya kontrak sampai 2025, spekulasi soal nasibnya bermunculan di media.
Ada yang menyebut, pelatih asal Belanda itu akan dipecat jika Setan Merah kalah dari Liverpool di Anfield akhir pekan nanti. Kalau ini terjadi, maka klub akan mengulang kisah waktu Jose Mourinho dipecat pertengahan musim 2018-2019, segera setelah kekalahan 1-3 dari Liverpool di Anfield.
Alhasil, muncul 2 nama pelatih kandidat pengganti potensial, yakni Julen Lopetegui dan Graham Potter. Kebetulan, dua pelatih ini masih berstatus tanpa klub dan punya pengalaman melatih di Liga Inggris.
Lopetegui pernah menangani Wolverhampton Wanderers, dan juara Liga Europa di Sevilla, meski kiprahnya sebagai pelatih Timnas Spanyol dan Real Madrid diwarnai gejolak. Sementara itu, Potter membangun reputasi bagus di Brighton, meski gagal total di Chelsea.
Keduanya sama-sama dipertimbangkan Sir Jim Ratcliffe, selaku pemegang saham minoritas klub (meski belum diresmikan) karena punya ide taktik sepak bola menyerang.
Tapi, kalau melihat situasinya, nama Graham Potter sendiri menjadi satu target lama Sir Jim Ratcliffe. Sebelumnya, Potter sempat didekati bos INEOS itu musim panas 2023 lalu, untuk mengisi posisi pelatih OGC Nice.
Sayangnya, negosiasi kedua belah pihak gagal mencapai kata sepakat. Sang pemilik OGC Nice akhirnya menunjuk Fransesco Farioli. Di tangan pelatih asal Italia kelahiran tahun 1989 ini, Nice secara mengejutkan mampu bersaing di papan atas klasemen Ligue 1 Prancis.
Kembali ke Potter, di luar ide sepak bola menyerang dan latar belakang sebagai pelatih lokal Inggris, ada satu nilai plus yang tampaknya jadi pertimbangan Sir Jim Ratcliffe, yakni kecenderungan sang pelatih untuk jadi penurut alias "yes man".
Sebelumnya, sisi ini terlihat ketika Potter melatih Chelsea. Meski klub belanja jor-joran, ia tak berkomentar banyak, apalagi protes. Manajemen Si Biru juga mati-matian membela sang pelatih, meski akhirnya harus dicopot akibat performa buruk.
Secara kasat mata, pendekatan ini akan kurang populer di mata sebagian Manchunian. Mereka pasti berharap, United punya pelatih berwibawa, cerdas dan jago taktik.
Karakteristik ini sebenarnya ada pada sosok Erik Ten Hag, yang bahkan mendapat keleluasaan belanja pemain begitu besar. Tapi, akibat merosotnya performa tim, manajemen klub jelas membutuhkan sosok yang lebih bisa diatur.
Atribut "bisa diatur" ini tampaknya akan jadi kunci perbaikan dan pembenahan klub, jika harus berganti pelatih. Dengan demikian, kita akan melihat, Manchester United akan jadi klub yang lebih selektif belanja pemain di bursa transfer.
Dengan kekacauan dan kemunduran yang terjadi di berbagai aspek, pembenahan ini jelas akan makan waktu, karena situasinya begitu rumit.
Jelas, butuh kesabaran di sini, termasuk keberanian untuk tidak berekspektasi terlalu tinggi, sampai semua sudah tuntas dibenahi.
Selama tak ada kesabaran ini, selama itu juga Manchester United akan mengalami stagnasi dan jadi lelucon dimana-mana, sebelum akhirnya mengalami kemunduran perlahan.
Ini baru saja terjadi di klub legendaris sekelas Santos FC (Brasil) dan bisa saja terjadi di Manchester United, jika klub dan suporter masih merasa semua baik-baik saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H