Di sepak bola Eropa, khususnya dalam dua dekade terakhir, selalu ada cerita menarik tentang rivalitas antarpelatih. Mulai dari Arsene Wenger versus Sir Alex Ferguson di Inggris, yang makin semarak saat Jose Mourinho datang ke Chelsea, persaingan Pep Guardiola versus Jose Mourinho di La Liga Spanyol, sampai rivalitas Pep Guardiola versus Juergen Klopp di Liga Inggris.
Dari ragam rivalitas yang saya sebut di atas, rata-rata menghadirkan cerita perdebatan "panas". Mulai dari perang kata-kata di media, sampai perdebatan di pinggir lapangan, semuanya menjadi bumbu pelengkap yang kadang tak kalah menarik dengan aksi para pemain.
Dari sini, para pecinta sepak bola tidak hanya diajak melihat para pelatih dalam kapasitas mereka sebagai juru taktik secara teknis, tapi juga diajak melihat, bagaimana cara pandang dan alur berpikir mereka secara keseluruhan.
Masalahnya, pada kadar tertentu, rivalitas suhu panas ini bisa menjadi toksik, dan tak layak diikuti, kecuali oleh para penggemar fanatik klub atau pelatih tertentu.
Salah satu kasus terkenal dari kasus ini hadir pada rivalitas Pep Guardiola versus Jose Mourinho di La Liga Spanyol, yang menjadi santapan lezat lain di laga El Clasico antara tahun 2010-2012, bersama kisah rivalitas Lionel Messi versus Cristiano Ronaldo.
Ternyata, dibalik cerita-cerita bersuhu panas itu, terselip satu cerita rivalitas pelatih yang relatif "adem-ayem", tapi tetap enak dinikmati. Tak tanggung-tanggung, cerita ini langsung hadir di Liga Inggris, yang merupakan lig terpopuler saat ini, dengan Pep Guardiola dan Juergen Klopp sebagai lakon.
Jejak rivalitas keduanya sudah mulai ada sejak sama-sama melatih di Bundesliga. Tepatnya, ketika Pep melatih Bayern Munich, sementara Klopp memegang kendali di Borussia Dortmund.
Keduanya secara konsisten menampilkan dua gaya khas sepak bola kekinian. Pep cenderung perfeksionis di segala sisi, sementara Klopp banyak mengandalkan efektivitas dalam memanfaatkan peluang.
Menariknya, kedua jago taktik ini juga menghadirkan sebuah paradoks. Pep biasa menahkodai tim yang mampu menuruti keinginan belanjanya, dan dominan di liga domestik.
Situasi pelatih asal Spanyol itu bertolak belakang dengan Klopp, yang harus mematuhi kebijakan klub. Dortmund  kerap menemukan pemain bintang, tapi dijual mahal atau dibiarkan lepas setelah bersinar.