Seiring mendekatnya Kompasiana Awards 2023, mulai ada beberapa pembahasan soal siapa yang bakal dipilih sebagai peraih  nominasi atau penghargaan. Soal ini, setiap Kompasianer pasti punya sudut pandang dan calon sendiri.
Tapi, bagi saya pribadi, momen Kompasiana Awards menjadi satu gambaran sederhana, soal perjalanan saya sebagai Kompasianer. Ada berbagai naik-turun, yang kadang hadir secara paradoksal.
Sejak pertama kali posting artikel Kompasiana pada tanggal 1 Desember 2016, saya melihat 2 tahun pertama di Kompasiana sebagai momen unik, karena pada periode ini saya kadang seperti punya tambahan energi untuk menulis 2-3 artikel sehari.
Meski hanya otodidak, periode ini membantu saya menemukan cara ternyaman mengubah ide spontan yang kadang cenderung liar menjadi tulisan. Soal bagus atau jelek, itu sepenuhnya saya serahkan ke pembaca dan admin.
Hasilnya, centang biru pun datang pada bulan Agustus 2017, yang disusul dengan masuk daftar nominasi 18 Kompasianer Terpopuler di Kompasianival tahun 2018.
Kalau melihat situasi saat itu, bisa masuk daftar nominasi Kompasianer Terpopuler saja adalah satu kejutan. Pada titik tertentu, saya menyebutnya sebagai satu "keberuntungan  pemula".
Maklum, di saat artikel politik jadi primadona (khususnya jelang Pemilu 2019) saya malah bisa "nyempil" di daftar Nominasi Kompasianer Terpopuler, dengan mayoritas tulisan bertopik olahraga sepak bola, bersama sejumlah Kompasianer senior yang memang penulis betulan, bukan amatir seperti saya.
Kalaupun ada satu alasan logis, keberuntungan ini datang, karena pada tahun itu ada turnamen Piala Dunia 2018 di Rusia, yang kala itu dimenangkan Prancis.
Tapi, alasan ini sebenarnya tidak cukup kuat, karena ada begitu banyak Kompasianer yang menulis artikel seputar Piala Dunia 2018, dan ada juga yang mendapat hadiah khusus dari Kompasiana.
Ditambah lagi, Piala Dunia hanya berlangsung selama sebulan. Jelas tak sebanding dengan gaung Pemilu 2019, yang sudah riuh sejak tahun 2017.