Judul di atas terinspirasi dari sebuah tajuk acara "talkshow" di televisi nasional berjudul "PSSI Bisa Apa?" yang dibawakan oleh jurnalis kenamaan Najwa Shihab antara tahun 2018-2021 di televisi nasional.
Tajuk acara ini cukup populer dan sempat enam kali diangkat sebagai topik bahasan, karena permasalahan yang ada di sepak bola nasional begitu banyak.
Dari acara ini juga, topik seputar praktik pengaturan skor dan mafia bola mulai jadi konsumsi publik, bahkan ditindaklanjuti pihak berwajib, dengan pembentukan satgas khusus, yang belakangan kembali aktif di PSSI era Erick Thohir.
Uniknya, satgas yang diresmikan pada Rabu (20/9) lalu ini turut menggandeng Najwa Shihab sebagai anggota, bersama Maruarar Sirait (Politisi & eks Ketua Steering Committee Piala Presiden 2015-2019), Ardan Adiperdana (eks Ketua BPKP), dan Akmal Marhali (aktivis sepak bola nasional).
Penunjukan mereka terasa unik, karena sebagian besar dari mereka dulu ikut terlibat aktif di acara PSSI Bisa Apa?. Bisa dibilang, ini adalah satu tantangan balik dari PSSI buat mereka: kalau ada mereka, Satgas Antimafia Bola bisa apa?
Dengan posisi sebagai lembaga independen, seharusnya tantangan ini bisa dijawab dengan tuntas, lewat gerak lincah dan pengalaman tiap personel. Kebetulan, mereka juga punya akses langsung untuk melaporkan temuan kepada Presiden Jokowi, dan koordinasi dengan FIFA.
Tapi, berhubung lawan yang dihadapi sudah punya jejaring cukup kuat dan sudah lama eksis, tugas Satgas yang diketuai Maruarar Sirait ini jelas tidak mudah. Sudah berapa kali ada upaya perbaikan, tapi belum ada yang benar-benar sukses.
Masalah lain juga berpotensi muncul, karena ada keraguan soal perkembangan situasi, khususnya karena Pemilu 2024 sudah tinggal hitungan bulan.
Dengan Erick Thohir masih berpotensi ikut Pilpres dan sisa waktu periode pemerintahan Presiden Jokowi yang tinggal setahun, masih belum jelas, apakah Satgas Antimafia Bola hanya bersifat temporer atau tidak.
Begitu juga dengan program PSSI, seandainya ganti Ketum akibat ikut Pilpres. Fenomena "ganti pimpinan ganti kebijakan" bisa terjadi di sini, karena masih jadi satu budaya organisasi di Indonesia.