Memang, ada sisa jejak kolonialisme di beberapa negara tersebut, tapi banyaknya imigran (dari Asia, Afrika maupun Timur Tengah) yang belakangan masuk ke Eropa juga telah membuat negara-negara Eropa lain (seperti di Skandinavia dan Jerman) juga punya pemain diaspora di tim nasional masing-masing.
Maka, ketika PSSI dan Kemenpora bergerak memonitor pemain-pemain diaspora, itu satu hal wajar. Hampir semua negara di seluruh dunia melakukan itu, bahkan sejak puluhan tahun silam.
Di satu sisi, ini bagus karena PSSI dan Kemenpora bisa lebih cerdik dalam memonitor potensi diaspora Indonesia, tapi ini bisa jadi bom waktu, jika tidak diimbangi dengan membangun sistem pembinaan pemain muda yang terpadu di dalam negeri.
Akan ada satu ketergantungan (kalau tidak boleh dibilang kecanduan) sangat besar pada pemain diaspora, yang bisa membuat posisi Indonesia semakin sulit, karena sejak awal memang tak punya posisi tawar cukup baik: peringkat FIFA masih 150 dan masih kesulitan lolos babak akhir kualifikasi, apalagi tampil di Piala Dunia lewat jalur kualifikasi.
Jika si pemain punya peluang masuk tim nasional negara asalnya, dan memilih  tidak menerima kesempatan di Indonesia, seperti pada kasus Justin Hubner dan Mees Hilgers (Belanda) seharusnya itu bukan salah si pemain, karena dalam siklus karier pesepakbola yang tak terlalu panjang, kesempatan seperti itu tak terlalu selalu datang.
Maka, sudah saatnya sepak bola nasional punya kompetisi usia muda yang sifatnya rutin seperti liga, dan dibina langsung oleh PSSI. Jadi, tak ada masalah ketika Timnas U-17 atau U-19 harus dibangun ulang, karena regenerasi terus berjalan, dan bakat yang ada di berbagai daerah bisa terpantau dengan baik.
Bisa?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H